Selamat datang di Kawasan Penyair Aceh Terima kasih atas kunjungan Anda

Jumat, 04 Maret 2011

FATHURRAHMAN HELMI


FATHURRAHMAN HELMI, putra pertama pasangan Helmi Hass dan D. Kemalawati, lahir di Meulaboh, Aceh Barat, 21 Juni 1995. Saat ini, tercatat sebagai siswa Kelas II SMP 6 Banda Aceh. Mantan murid SD 24 Lampineung, Banda Aceh ini memublikasikan puisinya di koran lokal dan sering diundang membaca puisi pada even-even kesenian dan kebudayaan di Banda Aceh Antologi Puisi Tunggalnya Aku, Bola dan Sepatu penerbit Lapena ( Institute for Culture and Society ).


KOTAKU KINI

Aku memandang sekelilingku
betapa indah kotaku kini
duka telah hilang
kedamaian abadi akan datang

siapa yang telah membuat ini semua
siapa yang telah membuat kami senang
mungkin tak ada yang dapat aku berikan
hanya terima kasih tak terhingga

coba kau lihat kawan-kawan
jalan, jembatan, gedung, fasilitas dan lain-lainnya
itu adalah kerja keras mereka
yang tak mengenal lelah

mungkin hanya terima kasih dan senyum mengembang
yang dapat kami berikan
mungkin selebihnya hanyalah Tuhan
yang akan membalas jasa kalian
sekali lagi terima kasih

Banda Aceh, 19 November 2008


BUMI

Aku di sini terpaku
menatap tanah yang tandus
bumi ini sedang sakit
akibat ulah manusia

anggap saja bumi ini bagai manusia
makin tua makin keriput

di bumi inilah aku hidup
di sinilah tempat aku mencari makan
namun para manusia biadab
memakai tangannya
untuk mengotori bumi

malang memang nasibmu bumi
wahai manusia-manusia tak ada akal
jangan kau rusak bumi ini
hanya untuk kesenanganmu
karena yang akan menanggung akibat
pastinya kau juga

tolong selamatkan bumi ini
karena kita juga membutuhkannya

Banda Aceh, 20 November 2008


SEPAK BOLA

Aku berlari
Tak tentu arah
Terus menendang
Bagaikan senapan yang memuntahkan peluru

Gawang yang kuincar
Dengan semangat menggebu
Walau tidak gol
Aku akan terus berusaha

Bola yang bergelinding
Bagaikan hidup yang terus berlanjut
Tak ada kata menyerah
Sebelum pertandingan usai

Banda Aceh, 20 November 2008


15 TAHUN PERKAWINAN
AYAH DAN BUNDA

Ayah dan bundaku
Semua pengorbananmu sangat berarti bagiku
Di saat suka engkau menemaniku
Di saat duka pun engkau tetap menemaniku

Ayah dan bundaku
Setiap kata-katamu akan selalu kuingat
Walau aku tak di sampingmu
Aku tetap mengingatnya

Ulang tahun perkawinanmu
Bagaikan angin segar yang menerpa jantungku
Semoga engkau orang tua yang dapat ku banggakan sampai akhir hayatku

Terima kasih ayah dan bunda

Banda Aceh, 19 November 2008


MAHA DUKA ACEH

Aceh dukamu adalah dukaku
Aceh kau selalu bersedih
Apakah kau tak bisa berhenti menangis
Kau harus tegar menghadapi semua ini

Aceh dukamu adalah dukaku
Tersenyumlah kembali Aceh
Di dalam damai dan tenteram
Bersama kasih dan sayang

Medan, 22 September 2005

Wina SW1


Wina SW1, sebuah potret gadis Aceh yang mandiri, aktif, memiliki banyak bakat dan keahlian. Gadis kelahiran 20 Pebruari 1969 ini, saat ini tercatat sebagai dosen pada Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala. Ilmuwan yang seniman ini sedang menyelesaikan program pasca sarjananya di Kyoto University, Japan.
Dia juga penyair yang puisi-puisinya banyak dimuat dalam berbagai antologi puisi. Selain menulis puisi, dia juga sering membacakan puisi di berbagai tempat di Indonesia, Asia Tenggara dan Jepang. Suka menulis cerpen, pernah menjadi jurnalis di Majalah Tiara (Gramedia grup, Jakarta), fotografer, koregrafer dan penari tari aceh, guru bahasa dan kebudayaan Indonesia di Kansai, Jepang, juga pernah aktif di berbagai organisasi daerah, nasional dan internasional.
“Lakukan apa yang bisa kamu lakukan selama kamu bisa. Tidak hanya untuk sendiri, tapi juga untuk mereka yang ada di jangkauanmu. Hidup ini singkat, jadi jangan biarkan kosong tanpa arti.
Karena itu, di manapun ia berada, ia selalu berusaha untuk


About WINA SW1
Wina SW1, a multi-talented girl with high self confidence and high spirit. She is a scientist, writer, photographer, Acehnese dance choreographer and dancer, teacher and poet. Her poems have been published in many poems anthologies. She reads her poems in many places & occasions in Indonesia, Southeast Asian Countries & Japan. She loves to write fictions, scientific papers, culture articles and published them in many mass media. She is working as lecturer staff at Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, Syiah Kuala University, Aceh. Now she is taking PhD program at Kyoto University, Japan.
“I love to an Acehnese. I have to study hard to get my degree, but it doesn’t mean I have to stop my activities to express my feeling. I want to share whatever I can share to the world, to promote my culture. Just do what you can do now, for yourself and for the people around you. Live is too short to let it gone without anything.”


Kemarin itu

Gelombang menggapai langit
Bumi pun karam dalam tangis
Hari milik kita mengalir tanpa kata
Itulah penutup cerita rumah kita

(Medan-Osaka Juni 2006)


Yesterday

The waves try to reach the sky
the earth swamped with tears
our days flowing without words
it is an ending of our home
(Medan-Osaka June 2006)


Antara


Kita lukis esok pada rinai hujan
Tanpa bingkai, kita gantungkan pada tembok raksasa
Jarak pun hanya sekedar bayangan dalam kegelapan

(Beijing, 22 Mai2006)


Between


In the rain we sketch a future
without frame, we hang it on the great wall
space just a shadow in the dark

(Beijing, 22 May 2006)


Pilihan

Terbanglahku meraih hari-hari lampau
tempat kita menyimpan cinta
hari ini selalu kembali mencuriku
memenjarakanku dalam taman hatinya
dan memabukkanku dalam rayuannya

“terimalah tawaran putihku dan berjalanlah di sisiku
ke dunia tempat kita menyemai cinta!”

setiap kumenjauh, ia kirimi aku setumpuk senyum
dan mengembalikanku pada simpang yang sama
: Engkau dengan segala kenangan
dan dia dengan seluruh harap untuk esok

(Beijing, Mei 2006)


Dilemma

I am flying to catch my olden times
in a site where we shelter our love
nowadays always steal me back
detain me in a garden of his heart
and persuades me in his word
“just take my white tender and walk beside me to a world
where we can grow our loves!”

whenever I flee, he sending a bunch of smiles
put me into a corner
: You with all the memories and him with hopes of tomorrow

(Beijing, May 2006)


Hasrat

Kita punya angin
Kita punya air
Kita punya hari
Kita punya siang
Kita punya malam
Kita punya mimpi
Kita punya nafas
Kita punya hasrat
Kita punya rasa

Kecuali hati yang hilang dalam lalai
cinta yang terperangkap dalam ilusi
mabuk dalam tarian angina dan aliran air mata
mimpi bermandi cahaya matahari
entah kapan nyata

(Kyoto, 2005)


Possession

We posses wind
We posses water
We posses day
We posses afternoon
We posses night
We posses dream
We posses breathe
We posses hope
We posses feeling

But a lost heart in thoughtless
a love in illusion trap
drunk in a wind dance and in the flow of tears
dreaming about sunshine shower:

(Kyoto, 2005)


Semedi bulan

Semedi di bulan
menggores cahaya biru
melukiskan rasa dengan birunya langit
tenggelam dalam kabut cahaya

semedi di bulan
ruang tanpa kata-kata
tetap saja kau melintasi
ketenanganku

(Kyoto, 2005)


Meditation on the moon

Meditation on the moon
Scratching the blue light
Try to picture all of the feeling
With azure
Sink in nebula

Meditation on the moon
Place with no words
But, you still flowing
In my serenity

(Kyoto, 2005)


Seteru
Bulan menyusupkan cahaya ke bilikku
lilin yang cuma sekelip tersipu
padam dalam diam

(Kyoto, akhir Juli 1999)


Foe


The moon hiding the illumination into my room
Candle with a little twinkle light
Out in silence

(Kyoto, akhir Juli 1999)


Lampion

Menyala ia sebelum sadar
menyentuhku
aku terbakar gelap

kertas-kertas jingga
batas nyala dan redup
mengasaplah aku
di antara pemuja kehilangan tuhannya

(Nara, awal Mei 1999)


Latern

flare up before awake
touching me
I am burning in the dark

paper lanterns with fires
a border between brightness and darkness
I blaze among the worshiper who lost their God

(Nara, May 1999)


Tugu
api dalam bisu
tanpa daun, tanpa rasa
tegak tak beranjak

(tak ada bedanya prolog
maupun epilog: hening)

(Sapporo, april 2001)


Monument

Fire in the coolness
without leaves, without sensation
standing without desire

(no difference between prolog and epilog
: silence)

(Sapporo, April 2001)

Rahmad Sanjaya


Rahmad Sanjaya: Lahir di Takengon (Aceh Tengah), 18 Juni 1972. Pendidikan terakhirnya menamatkan S1 dan S2 Teknik Sipil, menamatkan S1 Ekonomi jurusan Management dan Sekolah Musik di Jakarta. Darah seni yang mengalir di tubuhnya merupakan warisan dari ayahnya (Musisi) dan ibunya (Penari Melayu), Kiprahnya dalam dunia seni dimulai sejak umur 5 tahun dan saat itu untuk pertama kalinya dia perkenalkan dalam dunia seni lukis di kota kelahirannya.
Di tahun 1983 dia diajarkan bermain guitar oleh ayahnya, tahun 1987 dia mulai membuat puisi, tahun 1990 dia mulai menggeluti dunia teater di teater Mata Banda Aceh, beberapa naskah besar luar negeri sempat di pentaskannya bersama Teater Mata pimpinan Maskirbi dan dia juga sempat menggarap musik teater dalam beberapa naskah baik di Teater Mata, maupun Teater Kosong dan Krya Artistika.
Selama berteater seniman yang kerap di sapa Bang Jay ini aktif menulis puisi dan sepanjang perjalanannya dalam dunia sastra dia sempat di undang ke Malaysia dan dikukuhkan oleh Dewan Kesenian Jakarta menjadi Penyair Abad 21 di tahun 1996. Puisi-puisinya terhimpun dalam Antologi Sosok (1992), Nafas tanah Rencong (1992), Antologi Batu Malang (1993), Antologi Seulawah;Antologi Aceh Sekilas Pintas (1995), Mimbar penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Dalam Beku Waktu (2002), Antologi Putroe Phang (2002), Antologi Tanah Pilih (2008) dan Ensiklopedi Aceh (2008), serta Ensiklopedi penyair, penari pelukis dan teater Aceh (2009). Sedangkan puisi dalam bentuk Musikalisasi Puisi terdapat dalam album: Himne Bagimu Ibu, Luka, Khibast2000, Kehidupan I dan 2 (1999-2000). Ditahun 2009 dia membuat Album musikalisasi puisi bertajuk “Jaya” (Komunitas Musik Merdeka) yang di rekam dalam CD Audio.
Pendiri Bengkel Musik Batas (1991), Khibast2000 (1997), Komunitas Musik Merdeka (1998) Asosiasi Seniman Aceh Indonesia – ASAI (1998) dan Komunitas Rumah Sawah (2006) ini telah mengaransmen 1123 buah puisi ke dalam bentuk komposisi Musikalisasi Puisi sejak tahun 1990 s/d 2009. dan dengan itu pula dia kerap menjadi fasilitator di berbagai pelatihan Musikalisasi Puisi (1993-2009) dan menjadi juri di berbagai lomba baca Puisi dan Festival Musikalisasi Puisi (1992-2009).
Dalam organisasi kesenian Direktur Komunitas Rumah Sawah (KRS) ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengawas Dewan Kesenian-DKA (2000-2005), Wakil Ketua II Bidang Program DKA (2006-2007), Ketua Umum Komunitas Musik Merdeka Indonesia (2001- sampai sekarang), Ketua Umum Konsosium Musikalisasi Puisi Indonesia KMPI (2008 sampai sekarang), dia juga tercatat sebagai Wartawan Koran AcehKita (2005-2008), Tabloid Investigasi (2008), Tabloid Reporter (2008), Tabloid Sipil (2008- 2009), redaktur tamu di berbagai media di Bogor dan Jakarta. Sebagai seniman yang terus aktif nama Rahmad Sanjaya tercatat dalam Buku Pintar sastra Indonesia (2001).

Nun

Ruang yang terpisah itu adalah raga kita
Kerinduan akan kasih melambung
Bagai gelombang tak tampak
Lalu menjelma lautan cinta
Yang bermuara dari kerinduan

Senggamaku dengan kegelisahan
Adalah jendela menuju ketenteraman
Ketika engkau bagai bayangan
Menjelma rembulan
Yang kupandangi
Nun diatas sana

Dan dari segala ruang
Hanya raga kita yang terpisah
Dan dari segala mimpi juga angan-angan
Engkau menjawab sejuta nestapa
Dengan guyuran kerinduan
Yang tak terperikan

Aku mencarimu ibu
Dalam doa yang terbentang
Sepanjang sajadah langit

Jakarta Desember 2004


Percakapan Pagi

Akhirnya bertemu lagi dengan pagi
Aku kembali berembuk dengan hati dan fikirku
Karena pagi kemarin kami tak sepakat dalam kata
Hingga dia pergi meninggalkanku

Hari ini dia datang lagi dengan sekeranjang sarapan
Dia duduk mengambil singgasananya seperti kemarin
Senyumnya merekah laksana mawar di kebun bunga
Lama kami bercerita dan saling tukar tanya dan jawab
Terkadang ada pertengkaran kecil menyelinap

Seteguk kopi ku sambi diantara percakapan kami
Tiba-tiba entah dari mana mulanya dia membentakku
“kau terlalu lama bermain dengan malam,
Bintang-bintang terlalu berat mempengaruhimu
Dan kau terlalu bernuansa dengan bulan
Seperti pungguk yang terus birahi terhadap kelegaman kelam.”

“Hei, kenapa menyeru, kataku,
Bukankah kau datang dengan senyum bunga,
Jangan coba memendarku dalam jeratanmu yang kelu
Karena aku tak ingin hidupku skeptis dan penuh ragu”

Dia tak memandangku lagi
Entah tersinggung atau putus asa
Wajahnya di sembunyikannya di balik pucuk-pucuk daun
Yang mulai di tiup angin
Aku mengeluh. Otakku kembali beretorika
Ada hujatan kecil yang memekik di hati
Dan kopi kembali kuteguk.

“Hei, apakah kau masih belum beranjak dari mimpi
Sirnakan khayalmu, cepatlah arungi samudera !

Siapa yang berseru !

Punge Blangcut-Banda Aceh, Juni 2007


Bayangkan Kita Jadi Tua

Bayangkan kita jadi tua
Seluruh kulit kita keriput dan pucat
Mata rabun tak berbinar
Rambut beruban, rontok helai demi helai
Gigi tanggal satu persatu
Di meja, makanan yang tersaji bukan lagi milik kita

Bayangkan kita jadi tua
Kita mulai sendiri dalam rumah yang sepi
Di tv sinetron remaja menjejali otak tua kita
Kisah cinta dan kasmaran yang tak sempat kita pikirkan semasa muda
Menabjubkan atau mungkin saja kita akan muntah
Menyaksikan adegan-demi adegan yang di suguhkan sutradara

Bayangkan kita jadi tua
Orang-orang tak lagi berkunjung ke rumah
Orang-orang tak lagi punya kepentingan
Jabatan dan kuasa yang kita pegang dulu
Tenggelam bersama waktu
seiring keriput yang mulai menebal di kulit kita

Bayangkan kita jadi tua
Ketuaan yang mengelisahkan keluarga
Kata-kata yang manis tak lagi ada terdengar
Anak-anak kita tak lagi menjadi kebanggaan
Sahutan mereka kadang seperti sembilu
Yang berpendar menuai kepedihan hati
Namun kita cuma mengelus dada

Wahai, Bayangkan kita jadi tua
Diantara tubuh yang renta tak berguna
Penyakit yang akut
Dan seonggok penantian datangnya mati

Bayangkan kita jadi tua
Disaat masih menggenggam dunia.

Banda Aceh November 2007


Antara Kudrat dan Iradah

Benarkah waktu menafikan nafiri kehidupan lewat senggama dunia dengan mahluk
Ketika manusia melupakan asal, wujud semesta dan keabadian ruh
Dalam mawujud Nur Muhammad telah mengisyaratkan
Lentera kekekalan diantara kudrat dan iradahNya
Lalu bergerak mencapai taman surga dengan segala keindahanya
Disaat waktu tak lagi bermimpi mendapat matahari dan rembulan
Aku hadir diantara kudrah dan iradanNya sebagai lautan ma’rifat
Yang tak pernah berhenti dan mati.

Depok , Mei 2008


Republik Siapa

Membaca sejarahmu Indonesia
Adalah gemahripah loh jinawi kata jong java
Menukilmu Indonesia adalah patriotis anak bangsa yang siap mati demi sangsaka
Merenungmu Indonesia adalah fatwa-fatwa sejarah
Yang kian remuk di atas kepentingan demi kepentingan

Ini republik siapa
Ungkapan maju terus pantang mundur
Atau pekik merdeka yang dapat membangkitkan
rasa cinta pada negeri
Kian terpojok pada dataran sunyi diantara siang dan malam
Mungkin engkau terlalu mengada-ada tuan
Lihatlah wajah separuh dari jagat nafas anak negeri
Yang mengaga dalam perut lapar dan kesengsaraan
Lihatlah separuh dari kekuasaanmu
Yang diburu KPK dan dihujat di jalan-jalan protokol
Lihatlah separuh dari kebijakanmu
Yang menerbitkan malapetaka yang tak pernah sirna dari berbagai pelosok nusantara

Ini republik siapa
Berondong bencana, duka lara silih berganti
Engkau tetap mengaku Indonesia tanah airmu tanah tumpah darahmu
Namun disana kau berdiri menggorok leher putra-putri kami
Menyiksa ayah dan ibu kami
Menaikan harga sekehendak hati
Sambil berkilah ini demi stabilitas negeri
Bukan reputasi pribadi ujarmu dalam sebuah mimbar di televisi

Ini republik siapa
Aku mengerutkan kening dan menatapmu tajam disaat
Jaksa dan hakim berotak culas mempermalukan hukum
Ketika wakil rakyat hanya membela diri sendiri dan partainya
Disaat Kpk ciut terhadap orang-orang berbedil
Hingga pemerintahan busuk di tiap provinsi dan kabupaten
Mengkhianati rakyat dalam selubung satpol PP
Bakar, injak, paksa, gusur dan habisi bila perlu
Sementra dipinggir jalan
Polisi tak lagi mengatur lalin sebab takut kehilangan ladang jajan
Yang lebih memilukan maling jemuran langsung dihukum dor tanpa perbal
tapi tikus-tikus pencuri bebas berkeliaran sengaja di biarkan
Dan semakin kompaklah mereka ketika kepala negaranya sangat hobi menaikan BBM
Lengkaplah penderitaan ketika kesalahan menjadi benar dalam hukum-hukum republik

Tuhan
Pantaslah Engkau beri bencana di tanah ini
Tak habis-habis, tak putus-putus
Kesengsaraan menggeliat bagai bayi mungil yang mengompol di malam buta
Tak habis-habis dan tak mau sirna.

Jakarta Mei 2008


Ngungun Republikan

Ketika maklumat tak lagi mikat
Ketidakadilan bagai cemilan
Berlaksa bahasa telah berbusa
Negara menjadi republik angkara

Menembus langit dengan pisau gulita
Buta mata buta telinga
Cuma ngungun menjadi pelita
Diantara parau dan kebodohan

Berlayar yang jauh wahai anak laut
Diantara camar berputar-putar
Karena Lagu persatuan tak lagi bertuan
Yang ada hanya pelikan muntahkan sesalan

Norma dan amarah meluap bagai bah
Bergejolak selaksa odipus complek
Entah dimana kabut menebal
Republik ini semakin tak nyata

Dan kita adalah orang-orang yang terperangkap
Dalam lubang-lubang gemerlap politik instan
Yang mengusung pemimpin laknat beritikad khianat
Sampai suatu saat kiamat menyergap
Republik ini pun tamat

(Aku masih ngungun melihat bangsaku terjajah)

Banda Aceh Juli 2008


Sembilu Dua Zaman
Kepada WS . Rendra

Kadang dalam terang
aku masih mencarimu di kegelapan
Tuhan, Merah saja wajahnya.

Banda Aceh, Agustus 2008


Dimatamu Kulihat Dunia

Bukankah semerbak bunga telah cukup untukmu terbuai
Ketika kumbang jantan penuh nafsu
Menyuratimu dengan kertas wangi mengajak bercumbu
Diantara hempasan zaman yang tak terbaca
Dan dimatamu kau terus menghunus sembilu.

Punge, November 2008


Ada Cinta di Layar Facebook

Kalau Din Saja ingin menjadi penjual ganja
karena puisi sudah tak lagi miliki apa-apa
Maka aku memilih cinta di layar face book
Ada jamaah di sini
Jamaah yang menebarkan rasa kesetiaan dalam pertemanan

Kalau Din Saja meminta honor saat usai baca puisi di Putroe Phang
Maka aku memilih diam setelah pentas di Farhan Hamid
Sebab ada tidaknya honor itu tergantung kejujuran seseorang
Yang mendapat peluang pentas seni dan kewajiban untuk berbagi
Hanya sekedar satu rupiah

Kalau Din Saja memilih Kroeng Aceh Sebagai tempat festival
Maka aku memilih Kroeng Aceh sebagai tepat berlayarnya
puisi-puisi dari penjuru dunia
Bukan wacana dan bukan argumen yang dimanis-maniskan dengan gula sakarit
Dan tentunya kita tidak terus berperang dengan mimpi

Kalau Din Saja mengajak berziarah pikiran
Maka aku lebih memilih menulis puisi
Sebab puisi adalah keindahan semesta
Anugerah yang maha kaya
Yang terus ku ukir dengan irama

Kalau Din Saja bla..bla ..bla
Aku lebih memilih tak ikut serta
Sebab banyak mimpi sudah tergadai dan tak balik modal

Banda Aceh, Agustus 2009


Nak Inilah Nasehat

Katakan darimana kau mulai bangkit
Dan kebangkitanmu adalah kunci
Hidup bahagia di masa datang

Takarlah setiap langkah
Fikirlah sebelum bicara
Bacalah tanda-tanda zaman
Ariflah dalam fikir
Bijaklah dalam bertindak
Dunia akan jadi milikmu
Bila hidup mulai sulit
Maka berpeganglah pada tekat
Sebab kemalasan adalah rintangan
Yang mampu merobek-robek segalanya
Berjuang dan gigihlah bekerja
Niscaya kesulitan akan berubah jadi kemilau
Kemegahan akan hati dan raga

Maka jadilah anak semesta
Yang patuh pada orang tua
Berguna bagi bangsa dan menjadi imam dalam agama
Dan jangan ragu untuk sesuatu yang baru
tukarkan karyamu dengan dunia
Hingga duani ada diggenggaman

Nak inilah nasehat
Jimat keramat yang menuntunmu
Menjadi bermartabat

Banda Aceh , Agustus 2009

SULAIMAN TRIPA

SULAIMAN TRIPA, lahir di Panteraja (Aceh), 2 April 1976. Esainya, Hukom Suloh (2001), menjadi salah satu esai terbaik untuk perdamaian Aceh. Sepanjang 2002-2003, duduk dalam Komite Sastra Dewan Kesenian Banda Aceh. Buku puisinya, Pesta (2007), dan beberapa buku puisi bersama, seperti Putroe Phang (2002), Mahaduka Aceh (2005), Lagu Kelu (2005), Syair Tsunami (2006), Poet Tsunami (2005), Kutaradja (2009), Krueng Aceh (2009). Bersama D Kemalawati mengeditori buku puisi Ziarah Ombak (2005). Tahun 2006 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membaca karya tentang bencana. Tahun 2005 mengikuti Program Penulisan Mastera. Bersama beberapa teman, mendirikan Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh.

KEMBALILAH KAWAN!
untuk khaidir

kerinduanmu masih membayang
kau pinta pamit dengan sangat
untuk pulang,
karena tubuhmu ditunggu para tersayang

kau kembali, saat semua yang kau cerita sudah terjadi
beratus waktu kutunggu
tapi kau tak sempat memberi kabar barang sebentar

berpuluh orang kuhubungi
tapi yang tersisa selalu kurasa tak pasti
seperti kukejar angin

berdirilah di depan rumah
aku ingin menjengukmu dari jauh
sambil merasa aroma asap yang menyembul


SAMPAI

ada pesta di beranda yang tak beratap
di tepi banda yang penuh bercak
sambil melupakan ombak yang tak sedap
semilirnya pernah mengirim bau tak enak

hajatan ini juga tak terlarang, walau terang membawa hijab
makin mulia penarik berat, walau dengan bersiul sampai bersorak
ingat waktu ingat akhir, ingatlah pada titik yang nadir
tunggulah wajah akan terlihat, tak ada yang peduli walau meratap


BERJALAN DI ATAS AWAN

orang-orang tak sepi mendengar obrolan indah
kata-kata yang berbunga menusuk kampung
dan telinga
lalu terpana dengan alun syahdunya
yang membuat mimpi-mimpi bangkit ke cakrawala

ada banyak mimpi yang juga indah
tentang bunga dan burung merpati
dalam kepungan sesak yang dilingkari asap
lalu,
sepi-sepi tak juga mati

wahai bumi,
ada obrolan indah suci dari kampung ini
yang membuai kami
agar tak seharusnya mati

pandanglah,
tangan para pemberi kata yang berirama
sedang di kakinya
sepatu mengkilap yang sedang dihinggapi banyak lalat

di sekeliling tanah ini
dalam keindahan mimpi-mimpi
ada kaki yang menjerit
karena tertindih,
karena terjepit

zaman ini adalah zaman yang bersemi
oleh obrolan orang berilmu yang menjulang tinggi
oleh buaian orang berkuasa yang meyakinkan mimpi
padahal,
itu cuma mimpi

tak ada teduh untuk mengayuh
tak ada laut untuk berlabuh
tak ada sayap hingga terjatuh

orang-orang sedang melihat
taburan mimpi di saat siang
tentang ajakan indah
berjalan di atas awan.


PANTERAJA MENANTI SENJA

Tak banyak senyum karena ada yang pergi
barisan sunyi sedang menanti
tak ada tuntun untuk meniti
seperti mendung langit menjadi

cakrawala berkisah seputar hampa
saat panteraja menanti senja
dari langit kampung yang remang cahaya
karena bulan tak kunjung purnama

angin malam berwajah bisu
tak ada kipas yang bertalu-talu
tak ada burung yang tekun berlagu
melewati saja berlalu waktu

ketika fajar berganti pagi
tak juga muncul wajah berseri
ini persis seperti mati
tapi orang-orang seperti tak peduli.


KISAH TANGIS UNTUK NEGERI

negeri ini hampirlah karam
sudah gelombang datang membenam
tak elok lagi siang dan malam
perilaku orang berlanggam-langgam

ada orang orang berbagai macam
datang ke sini setelah tanggal dua enam
ada pesta beraneka ragam
menarik rezeki dari orang yang demam

siapa yang datang membawa asam
untuk membentuk wajah yang muram
khanduri ini dunia lalu kelam
maka janganlah liar selimuti gumam

hai saudara bawa apa kemari
untuk siapa pula itu rezeki
terkaitkah itu dengan tsunami
karena ada aroma mewah dalam rekonstruksi

ini kisah untuk tampuk negeri
dari permainan orang yang memancik api
tidak jelas orang yang memulai
entah dari seberang laut entah dari negeri sendiri

muncul pula pahlawan dalam rehabilitasi
padahal makan duit kelandit diisi
para berbayang-bayang putih suci
padahal juga dekat dengan pencuri

tengadah tangan ini untuk Tuhanku
mohon petunjuk untuk orang yang kelu
sadarkan mereka untuk beroda biar tak bisu
lembutkan hatinya biar tak membatu

terlalu lama orang menunggu
memakan angin yang sering berlalu
di dalam gedung ada yang semu
membangun koloni di negeri endatu

wahai tuan-tuin pekerja rindu
korban tsunami pastilah pilu
berjilid-jilid rencana tersusun di buku
mengapa masih sesak berlaku

pahit dirasa kian membara
orang yang kena pasti merasa
janganlah biar mereka menderita
nanti datang bencana kedua

bukan alam yang akan bermurka
tapi manusia yang saling durja
oleh perilaku yang membawa celaka
oleh sikap yang mengejar harta

apa zaman sudah begini masa
akhirat lupa karena kejar dunia
tidak pula ingat nilau budaya
apalagi sampai ingat agama

inilah kisah tangis untuk di barat
untuk kebutuhan manusia berlambat-lambat
semua bilang ada hak daulat
hingga manusia jalan harkat

orang-orang sudah bersekat-sekat
orang yang jauh orang yang dekat
alasan mudah adalah martabat
cara yang laku bersikat-sikat

inilah dunia sudahlah terpahat
dalam godaan yang berlipat-lipat
tak di timur tak di barat
entah kapankah kembali martabat

semisal dunia yang sarat muatan
hidup di dunia sarat godaan
orang-orang ada dua pilihan
antara buruk atau beriman

tapi buruk seterang bulan
perilaku buruk sampai pula di jalan
tak peduli motor atau pun sedan
laku manusia memiris keadaban

di waktu magrib orang di jalan
membawa anak beli jajanan
ada uang hasil rampokan
untuk anak isteri memberi makan

satu kerja dua belas upah
bilang tak turut dengan sumpah
misai tebal untuk hidup mewah
di kedai kopi canda dilimpah

mobil baru di rumah singgah
garasi berbunga dengan cat indah
tak peduli tetangga yang patah-patah
yang penting silat pakailah lidah

bila bekerja ada yang salah
juru bicara yang sanggah-sanggah
tak ada soal hati yang gundah
tak ada soal tubuh gelisah

hai saudara bawa apa kemari
untuk siapa pula itu rezeki
terkaitkah itu dengan tsunami
karena ada tangan yang bawa lari

ini kisah tangis untuk pelayan negeri
jangan jadikan busuk di dalam negeri
cukuplah sudah korban disakiti
ingatlah doa nanti Tuhan beri

ini kisah tangis untuk pekerja
yang berpeluh keringat setelah bala
ambillah hak yang sewajarnya
jangan sampai berlipat lima

ini kisah tangis untuk para saudara
sebagai kabar dari yang berduka
ternyata bencana tak cuma bala
ada riang berlomba-lomba

ini kisah tangis untuk orang pandai
jangan cuma ngomong soal selesai
sampailah ke hati harus sesuai
agar elok pula piagam terbingkai

ini kisah tangis untuh pahlawan
berhentilah sikap untuk menawan
ini bukan negeri di awan
ini bukan negeri di awan

Salman Yoga S


Lahir didataran tinggi Gayo, Takengon Aceh Tengah 05 Juli 1973. Sarjana Komunikasi Dan Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga pernah mampir di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta selama dua semester. Alumni Master of Art disalah satu perguruan tinggi ternama di Medan ini di samping menulis puisi, esai juga menulis berita, cerpen, novel, naskah drama dan Teater. Mantan Ketua II Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (HISMI), Ketua Sanggar Seni Lungun Ikatan Pemuda Dan Mahasiswa Lut Tawar Yogyakarta (IPEMAHLUTYO) dan Sanggar Seni Meukuta Alam Yogyakarta (1995-1998). Ia juga menjabat sebagai Ketua litbang Dewan Kesenian Takengon (DEKATE) selama tiga periode 2001-2010.
Salman Yoga S tercatat sebagai Sastrawan Muda Nasional dari dataran tinggi Gayo, namanya terabadikan dalam buku “Leksikon Susastra Indonesia” Korri Layun Rampan, ed (Balai Pustaka Jakarta, 2000) serta dalam “Buku Pintar Sastra Indonesia” yang ditulis oleh Pamusuk Enenste (Kompas Group, 2001). Sebagian karya-karyanya berupa artikel, esai, puisi, cerpen dan novel telah dipublikasikan di berbagai media terbitan pusat dan daerah.
Antologi puisi tunggalnya yang telah terbit adalah “Sajak-Sajak Rindu” (KKSBMIY,1995) dan novel “Tungku” (Banda Aceh, Aneuk Meulieng, 2006). Selain itu terhimpun juga dalam 24 buku antologi bersama: ”Percikan Tawar Danau Laut Tawar” (stensilan, 1998), ”Gendewa” (HISMI, 1999), ”Aceh Mendesah Dalam Nafasku”, (Kasuha, 1999), ”Pasar Kembang” (KSI UGM, 2000), ”Embun Tajali” Festifal Kesenian Yogyakarta (FKY XIII, 2000), ”Antologi Puisi Dan Geguritan” (Dewan Kesenian Sleman Yogyakarta, 2000), “Jakarta Dalam Puisi Mutakhir” ed. Korri Layun Rampan (Dinas Kebudayaan Jakarta, 2000), ”Dalam Beku Waktu“ (Koalisi NGO HAM Aceh dan ICCO, 2002), “Takdir-Takdir Fansuri” Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB, 2002), “Selama Rencong Adalah Tanda Mata” (Koalisi NGO HAM Aceh dan CSSP, 2002), “Jurnal Titik Tolak” (Tikar Pandan, 2004), “Maha Duka Aceh” (PDS HB Jassin, 2005), “8-9 Lalu Tsunami” (Panitia Aceh Bangkit, 2005), “Syair Tsunami” (Balai Pustaka, 2006), “Lagu Kelu” (ASA & Japan-Aceh Net Tokyo, 2005), “Ziarah Ombak” (Institute for Culture and Sociaty, 2005), “Kado Perkawinan” (Analisa, 2008), “Leksikon Susastra Aceh” (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2008), “Ensiklopedi Budaya, Sastra dan Hikayat Aceh” (YMAJ, 2008), “Kutaraja Banda Aceh” (ASA, 2008), “Ensiklopedi Aceh, Musik, Tari, Teater, dan Seni Rupa” (YMAJ & Badan Arsip dan Pustaka Aceh, 2009), “Krueng Aceh” (Mata I Publishing & Panitia PKA-5, 2009) .
Tahun 2006 novelnya yang berjudul “Tungku” keluar sebagai juara pertama dalam sayembara penulisan novel perdamaian Aceh. Sementara itu novel lainnya yang berjudul “Eksekusi di Kampung Gerunte” dimuat bersambung pada Harian Umum Analisa Medan. Bulan Agustus 2007 meraih penghargaan Anugrah Sastra Satya Lencana Sarata Kata dari Pemerintah Aceh, atas kiprah dan dedikasinya dalam kepenulisan sastra dan kebubudayaan.
Karyanya dalam bentuk album kaset baca puisi “Langitpun Mulai Merapat” (KKSBMIY,1997), “Mencintai Aceh Dengan Asap Ganja” (Misty Studio Yogyakarta, 1999). Sedang karyanya dalam bentuk visual baca puisi terangkum dalam “BELBES” (DEKATe, 2003) dan Vcd “Ceh Kucak Gajah Putih” (YGP Takengon 2004) serta album kaset “Gayo Etnik Akustik” (STAI Gajah Putih, 2006).
Diantara naskah teaternya adalah: “Aku Memanggilmu Ine” dipentaskan di Gedung Purna Budaya Yogyakarta 1999, Taman Budaya Banda Aceh 2000 dan Gedung Olah Seni Takengon 2001. “Kami Rindu Aman” dipentaskan di Taman Budaya Banda Aceh 2002. “Tungku” dipentaskan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marjuki (TIM) Jakarta, Gedung Sociatet Yogyakarta dan Gedung RRI Jakarta 2003. Naskah monolog dengan judul “ W i h ” diusung pada even Pesta Monolog Nasional oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 11-19 Mei 2005, naskah “Kembali Ke Tungku” dipentaskan di tiga kota atas dukungan Aceh Culture Institute (ACI) dan World Bank 2006. Naskah “Qisas Para Meurah” dipentaskan dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA ke-5) 2009 di Banda Aceh dan keluar sebagai juara pertama.
Saat ini memilih menetap dan mengabdi di tanah leluhurnya, selain bertani kopi dan memelihara kuda pacuan ia juga mengajar di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta beberapa Perguruan Tinggi Sawasta lainnya sekaligus menjabat sebagai direktur lembaga Gayo Institute (GoIn) Aceh. Tinggal di Kampung Asir-Asir Atas Gg. Pungkih No. 70 Takengon-Aceh Tengah. Email: salmanyoga@yahoo.co.id


KULAMAR KAMU MENJADI ISTRI
Bagi : Lussi Setiowati.

Dengan kesahajaan dan kesederhanaan lelaki bumi
aku datang dari prosesing hari-hari yang saling menggali
kulamar kamu perempuanku menjadi istri
sebagai rahmat dan rizki
menjadi penggalan dari cintaNya
menjadi baju dan selimut dalam mengarungi melodia zaman
menjadi peneduh dan kedamaian
kupilih kamu satu-satunya dari sekian pilihan yang terpilih
untuk bersama-sama menjinakkan kemarau dan hujan

Kulamar kamu perempuanku menjadi makmum dalam shalat-shalat kehidupan
dengan puisi, dengan kebenaran rasa dari istikharah malam yang senyap
kulamar kamu untuk mengamini setiap do’a- do’aku
kulamar kamu untuk timbunan besar dan iringan panjangku
menyemai dan mengasuh putra putri masa

Kulamar kamu dengan lima belas gram kunis emas
dari tetesan keringat matahari yang kutampung menjadi samudra
untuk mengaliri, mengisi dan mewarnai semesta
kulamar kamu untuk pertama bagi selamanya


IJAB QABUL 2
kuterima nikahnya
dengan mengajar membaca dan nalar rasa

kuterima nikahnya dengan tujuh belas judul puisi yang tersimpan di langit
dengan dua puluh lima judul puisi lainnya yang menggantung dan
mengandung gemuruh

kuterima perwalian nikahnya dengan dua bapak dan dua ibu
dengan dapur dan ruang makan yang gelisah
dengan bisikan sekaligus teriakan yang berhadapan dengan kesabaran

kuterima hukum nikahnya
dengan keadilan putaran siang dan malam
dengan gelora padang menumbuhkan rerumputan

kuterima timbunan besarmu yang akan melahirkan matahari
bagi lumbung tempat kembali
untuk iringan panjangku mejejak semesta
membesarkan kehidupan

kuterima nikahnya untuk hasrat dan kedamaian
bagi jiwa pengembara


SAJAK AMAN MAYAK 1*
( Pengantin pagi )

pertapaan telah turun
mengulum desah dan peluh merangkul bulan dan memadamkan matahari
urat-urat syaraf telah direnggangkan
menantang kesombongan malam

terasa,
siang menjadi lama dan panjang
malam menjadi begitu singkat menenun
setiap pertemuan seperti kerinduan bertahun tahun
penuh dendam

rebahkan kepala di bahuku dengan sahaja
agar setiap kelelahan menjadi lebih berarti
agar setiap kehangatan menjadi abadi
sebab perjalanan kita,
baru saja dimulai

Catatan :
Aman Mayak : Pengantin Laki-laki


PADA LINGKARAN TARI GUEL

masih pada teriakan yang sama ketika kain ulen-ulen itu menjadi cahaya
mengibaskan debu di tanah dan udara
gerak selingkar alam mengulum rimba
“maaf langit yang kujunjung, permisi bumi yang kujejak”

tapi siapa yang telah mendurhakai telapak kaki dan ubun-ubun kepala
hingga setiap tarian kunikmati takberdaya
hingga hentakan bahu melenggangkan tak menggemulaikan rasa
hingga tari guel kian tak bernyawa

belantarakah genderang
sampai kerontang tak merindukan hujan
gersangkah seruling dan tepukan mantra
sampai hantupun tak lagi menggila jiwa

pada lingkaran tari guel kusaksikan muncratnya ketakutan
seperti pemberontakan Malem Dewa
menyerukan manusia
2007


Catatan :
Tari Guel : Tarian mistis Gayo yang diangkat dari sejarah Gajah Putih yang
dipersembahkan untuk raja Aceh pada tahun 511
Ulen-Ulen : Kain selebar sat kali dua meter yang dipenuhi sulaman relief Gayo,
digunakan sebagai proferti utama dalam tari Guel


BERGURU KEPADA IBU

Berguru kepada ibu, segala hidup memanjakan rindu
bayi-bayi berlari bersenda mengusung cerianya
bernyala khusuk menyusui masa
Berguru kepada ibu disana segala kebencian dan puja pasrah
air dan udara yang penuh cinta, menerima dan memberi dengan atau tanpa diminta
ia segala puncak ketabahan
surga dari segala kebaikan dan keburukan
doa yang ditolak dan diijabah khaliknya
sebagai kitab suci dan penganut setia
Berguru kepada ibu
tempat tertanam dan tumbuhnya segala rindu
awal bahasa dan sentuhan tuhan
Berguru kepada ibu
memberi dan merangkum restu sebagai maha rindu


BANDA ACEH

Bulan di atas Banda Aceh
tenang riak seperti mengandung keruh
malu mengapung lalu mengendap di dasar
suara galau meringis tertahan dan menggumpal di didada
sesak merangkum keatabahan para hamba
rasa memuncak dan merayap ketanah
seperti bara, asap mengepul mencari kebebasan udara

Harapan dan janji terukir jelas dalam naskah mou
terukur waktu terhasta asa
lima tahun tak beramanah maka sejarah akan mengulang kisah DI/TII
dimana kertas dan orasi tak berarti apa-apa
selain darah dan sedu sedan

Bulan di atas Banda Aceh
segenap shaf mengaminkan do’a-do’a


SAJAK PETIKAN GITAR DI TENGAH BELANTARA

Seperti menghitung bilangan prima
Satu-satu kau petikkan senar gitar itu
Lahirkan aku dengan nama dan jalan baru
Dan pembunuhan luka di telinga halaman
Suara itu seperti mawar dan angin bunga renggali senja
Mengalun menggelitik batin untuk tersenyum mekar
: bahwa hidup juga adalah fartitur
Tinggi rendah mengulang-ulang
Membuat peraduan menjadi indah berirama
Seperti kehidupan yang tak pernah selesai untuk dibaca

Kamis, 03 Maret 2011

Faridah Roni


Faridah Roni, lahir di Takengon Aceh Tengah pada 30 Desember 1956. Menyelesaikan pendidikan di jurusan Fisika FKIP UNSYIAH Darussalam Banda Aceh dan Jurusan Pendidikan Elektronika Komunikasi FKIP Padang, kini sebagai seorang pendidik disalah satu SMK di Banda Aceh.
Puisinya di muat dalam Antologi puisi “Ziarah Ombak” (Lapena 2005) dan kumpulan puisi penyair perempuan Aceh “Lampion” (Lapena 2007).


LUKA

Engkau lelaki terkasih
Menabur cinta
Kepada bunga liar
Dipinggir jalan
Engkau terlena
Dalam balutan rona
Debu coklat tua

Banda Aceh, September 2007


PURNAMA KE 24
( Untuk : Is Sy, Is Hatens & Yasni M)

Dua puluh empat purnama
Berlalu pergi
Bayanganmu tak pernah sirna
Malam hampa sentakkan rindu
Sayat belati menikam dada
Mengoyak nurani yang terluka

Dalam diamku
Dalam sujudku
Dalam setiap desah nafasku
Kubisikkan namamu
Bidadari kecil belahan jiwaku

Manakala kutatap langit
Kutanyakan pada bintang
Pada bulan pada mentari
Adakah engkau melihat
Bidadari kecilku
Bermain ayun ditaman firdaus

Kulewati hari - hari dalam sepi
Kurajut rinduku dalam nurani
Ulurkan tanganmu bidadariku
Nantikan papa dipintu surga

Banda Aceh, Desember 2006


MALAM DI CHANGI

Lewat perjalanan panjang
Untuk bertemu denganmu
Negeri Sembilan, Malaka, Johor
Akhirnya aku sampai
Dipintu gerbangmu
Kerlingan tajam pengawalmu
Mengawasi gerak langkahku
Semilir sejuk angin senja
Mengantarkanku dalam pelukmu

Gemerlap cahayamu
Menyilaukan mataku
Saat kupu kupu malammu
Beterbangan menari
Diatas ranting ranting kering
Yang kerontang
Yang telah lupa makna cinta
Tak dapat lagi menyusun aksara
Hanya mencintai nikmatnya raga
Lupa membaca zikir dan doa
Karena nurani kehilangan cahaya
Mereka lupa
Nanti ketika menghadapMU
Tanpa membawa nikmatnya dunia

Singapore, Maret 2008


IBU

Dalam keremangan pagi
Engkau lalui jalan berliku penuh batu
Suara langkah kakimu yang terseret
Diantara dinginnya tetesan embun
Engkau rajut asa
Bagi kami putra putrimu

Ibu
Engkaulah rumah segala impian
Engkau nyalakan api pengharapan
Engkau pandu dalam kehidupan
Engkau besarkan kami dengan cintamu
Engkau elus kami dengan kasih sayangmu
Engkau hibur kami dengan ketulusanmu

Ibu
Engkau seperti senja dengan semilir angin
Ada kehangatan ada kedamaian
Cintamu bagai bianglala indah di cakrawala
Kasihmu bagai desah bayu di dedaunan
Rindu padamu selalu terasa namun tak teraba
Engkau akan selalu ada
Dalam hati dan cinta kami
Doa tulus selalu untukmu
Ibu

Banda Aceh, Mei 2007


SURAT TERAKHIR
( untuk : Rizka Wahyudi)

Kekasih
Ijinkan aku menangis untukmu
Untuk sebuah cinta
Yang pernah ada diantara kita
Melewati bilangan hari dan waktu

Kelokan digunung kerambil
Telah memisahkan dunia kita
Maut tiba-tiba datang menjemput
Engkau tak sempat lagi menarikan
tari guel dengan “ likak “

Ketika malam merapat
Rembulan mengintip malu disela daun
Ngilu terasa diruang dada
Bayangan wajahmu
Hampa, Beku, membisu
Aku terjaga dari mimpi-mimpi
Yang pernah kita lewati bersama

Diistana dunia fana
janji kita saling setia
Kini engkau telah tiada
Aku merajut helaian rinduku
Mengarungi angkasa biru
Selamat jalan kasihku. .

Banda Aceh, Oktober 2009

Tari guel : tari tradisional dari tanah gayo
khusus untuk laki-laki atau
penganten laki-laki
likak : sangat lincah

Minggu, 27 Februari 2011

D Kemalawati


D Kemalawati, lahir di Meulaboh, Aceh Barat. Salah seorang pendiri lembaga kebudayaan Lapena yang bergerak dalam pendokumentasian karya sastra di Aceh. Menulis puisi, cerpen, novel,esei, opini. Puisi-puisinya terhimpun dalam banyak antologi bersama Indonesia, nusantara diantaranya dalam
Antologi De Poeticas, kumpulan puisi Indonesia, Portugal, Malaysia, (Gramedia, 2008)
Antologi puisi tunggalnya terbit dalam dua bahasa Indonesia Inggris berjudul Surat dari Negeri Tak Bertuan (Lapena, 2006). Novel perdananya berjudul Seulusoh terbit pada 2007 oleh penerbit yang sama. D Kemalawati selain bergiat di penulisan kreatif juga seorang penari dan pemain teater. Berperan sebagai Laksamana Keumalahayati dalam pementasan teater Tanah Perempuan karya Helvi Tiana Rosa bersama Bengkel Sastra UNJ akhir tahun 2009 di Gedung Kesenian Jakarta dan di Auditorium RRI Banda Aceh. Terakhir bersama penyair Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja menerbitkan karya puisinya dalam kumpulan puisi 3 Di Hati yang juga diterbitkan Lapena Banda Aceh (Desember, 2010). D Kemalawati penerima Anugerah Sastra dari Pemerintah Aceh 2007.

Puisi-puisi tsunami D Kemalawati (versi Indonesia-Inggris)

SAJAK UNTUK PELUKIS OMBAKKU
(Untuk : Virse Venni)

apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja

apakah pagi itu engkau masih membedaki
punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan sikecilmu
sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu

apakah arti sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara mana jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
di antara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit di antara puing-puing reruntuhan

engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki di pinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan

kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai langkah kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan lukisan-lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu

aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku, tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada-Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu

Banda Aceh, 9-10 Januari 2005


Poem for the Painter of My Wave
(for Virse Venni)

what significance is this my poem
when the wave you painted on the blue canvas
no longer provides peace in my heart
its foam no longer white to caress the shore
it has turned angry
it’s long body touching sky
eating up all there is

that morning did you still powder
your husband’s back
tired for having lain all day
bathe your little one
while playing with his cute brow
or comb the curly hair of your pretty little girl

what significance is this my poem
when I cannot guess
in what jungle your body now is
is it you still lying
in between the blackened bodies, stiff and lonely
impaled between the rubble of ruins

is it you covered in black bags
piled on the road sides
with no holy rites and kafan cloth
is it you only brought in by volunteers
to the long holed cemetery
for me to find no gravestone

to whom else should I offer this poem
to become a talent in the dance of colours
to give meaning to the steps of these bare feet
I am tired of roaming these empty lanes
seeking out traces of your house
finding the paintings on its wall
or picking up the small brush
of when you painted that wave

now I can only stare at my wave
in your painting
in the release of my zikir, my tahlil, my tahmid
I ask of You, Allah
make pure the bodies of my kin
who returned home in the rumble of Your wave

Banda Aceh, 9-10 Jan. 2005


KITA TAK BELAJAR MEMBACA TANDA-TANDA

ketika kita terhuyung-huyung dalam goncangan panjang
ketika kita bersidekap rapat dengan bumi
ketika kita tak pernah tahu tanah rengkah
air laut surut berdepa-depa
ketika ia menjulurkan lidahnya ke angkasa
ikan-ikan menggelepar, pasir-pasir mengering
rumput laut tak sembunyi di balik karang
lalu sebagian dari kita berhamburan ke tengah pasir
silau oleh gemerlap sisik ikan
bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya
seakan bara siap mengharumkannya
perut sejengkal sudah sehasta
berbongkah-bongkah daging merah
gerah menari di lidahnya
masya Allah, ketika dari kejauhan dia datang menerkam
Tak ada sayap menerbangkan tubuh kita
Dalam hitungan detik Malaikat Izrail kembali
Menyampaikan laporannya
Menyempurnakannya hitungannya
Kita tak belajar membaca tanda-tanda
Sebagian kita melihat dengan batinnya
Masjid-masjid yang sendiri di bibir pantai
Adalah perahu Nuh yang disesaki kaumnya
Lalu ia bertanya mengapa berlari dari masjid

Banda Aceh, 10 Januari 2005


We Have Not Learned to Read the Signs

when we were tossed about in the long trembling
when we held on tight to the earth
when we never knew that hot land
makes water ebb in acres
when it curled out its tongue to the sky
fish flapped around, the sands dried up
seaweed no longer hid behind rocks
then some of us rushed to the sands expanse
blinded by the flash of fish scales
like fireflies drunken with light
as if coals were at the ready to make them fragrant
the bit of stomach now an acre
bricks of red meat
clammy to dance on the tongue
Masya Allah, when from afar it came to devour
there were no wings to make our bodies fly
in a matter of seconds Archangel Izrail returned
conveyed his report
perfected his calculation
we have not learned to read the signs
some of us saw with our souls
the mosques standing alone on the lips of shores
were the ark of Noah’s crammed with his people
and then he asked, why run from the mosque

Banda Aceh, January 10, 2005


DAHAGA LAUT

Kami anak nelayan
Debur ombak adalah zikir kami
Pasir putih adalah sajadah kami
Air laut adalah perut kami
Dahaga kami
Lapar kami

Kenapa ombak tiba-tiba menjulang
Mengukir gunung dalam sekejap
Lalu pecah terdorong dahsyat
Menerjang gubuk-gubuk reot kami
Menggulung ibu yang sedang menjemur kain di halaman
Menggamit tubuh kecil kami yang sedang membantu ayah
Memungut ikan-ikan yang terdampar itu
Terbayang ayah tak perlu melaut esok hari
Tak perlu membiarkan kami terjaga diwaktu subuh
Membaui aroma laut di tubuhnya
Ikan-ikan yang terdampar itu
akan kami tukarkan dengan jala baru
menggantikan jala usangnya yang berlubang

Hanya sekali itu
Hanya sekali itu saja ombak menjulang
menggulung tubuh kami dalam larva kelam
lihatlah leher ibu yang berdarah
atap rumah yang terseret arus melukainya
lalu lumpur hitam yang pekat menutup rapat tubuhnya
Masya Allah, bayi itu lepas dari pelukan ibunya
Terlempar ribuan meter
Tangisnya hilang bersama detak jantungnya
Ya Allah, terlalu cepat ia berlalu tanpa sempat menyentuh tangannya
Yang menggapai-gapai itu, pandangan yang redup hilang dalam sekejap
wahai, Di manakah dermagamu

Ombak itu terus berlari bagai bala tentara yang maha ganas
Mengejar kami yang berlarian tak tentu arah
Membungkam jerit anak-anak yang ketakutan
Zikir yang tertahan, azan yang terpenggal
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun
Beribu-ribu kami yang tak berdaya terkapar
Karam bagai kapal kertas
Jiwa kami melayang
bagai kapas dihempas badai
Ya, hanya sekali itu
Dalam hitungan menit ombak itu kembali pulang
laut tenang
tinggallah nyeri yang berenang-renang di darat ini
di hati jutaan kami

Kami anak nelayan, hari-hari menghitung ombak
Melukis purnama dalam pasang yang purba
Mengintip penyu menitipkan telurnya
Membangun rumah-rumah pasir sambil
membayangkan ayah ibu menghabiskan senjanya di sana
kini kami menyepi di tenda-tenda
sunyi dari deburan ombak

kami anak nelayan
debur ombak adalah zikir kami
pasir putih adalah sajadah kami
air laut adalah perut kami
lapar kami
dahaga kami

o lihatlah perahu-perahu itu menuju
jejak kampung kami yang senyap tanpa canda
pesisir yang wangi oleh cemara
desah nafas kami terkurung di sini
biarkan kami mendekat
memungut kayu-kayu yang berserakan
untuk tiang gubuk kami yang baru.

Banda Aceh, 18 Februari 2005


The Sea’s Thirst

We are the children of fisher folk
The crash of waves are our zikir
White sand are our prayer mats
The seas are our stomachs
Our thirst
Our hunger

Why did the waves suddenly curl high
Becoming a mountain for an instant
And then break up in a mighty surge
Smashing our wretched huts
Rolling our mothers drying out clothes in the yard
Devouring our small bodies who were helping father
To pick up those stranded fish
Imagining father not having to go out to sea tomorrow
Not having to leave us awake at dawn
Sniffing the sea’s aroma on his body
Those stranded fish
we were to exchange for new nets
to replace his old ones full of holes

Just that once
Just that once did the waves curl high
rolling our bodies in dark larva
look at mother’s bloody neck
a roof dragged by the current hurt her
then thick black mud covered tight her body
Masya Allah, that baby fell from its mother’s embrace
Tossed thousands of meters away
Its cry lost together with its heartbeat
O God, too fast did it go by with no time to touch its hand
That reached out, its forlorn gaze lost in an instant
Oh You, where is Your dock

The wave went on running like a troop of vicious soldiers
Chasing after us who ran with no direction
Silencing the shrieks of frightened children
Stopped up zikir, chopped up azan
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun
The thousands of us powerless and listless
Stranded like paper boats
Our souls had flown
like cotton wool tossed in a storm
Yes, just that once
In a matter of minutes the wave went home
the sea turned calm
all’s left is pain swimming in this land
in the hearts of our millions

We are children of fisher folk, our days we count the waves
We paint the full moon in its ancient high tides
Peek at turtles putting its eggs to keep
Build sand houses while
imagining father and mother riding out their dusk there
now we ponder in our tents
silent from the crash of waves

We are the children of fisher folk
The crash of waves are our zikir
White sand are our prayer mats
The seas are our stomachs
Our thirst
Our hunger

O, look at the boats heading towards
The traces of our village so devoid of laughter
The shore is fragrant with pine
The sighs of us imprisoned here
Let us come near
To pick up scattered sticks
To use as posts for our new huts

Banda Aceh, February 18, 2005


RAWA ITU BERNAMA KAJHU
Untuk Saudara kami Harun Al Rasyid

Saudaraku haruskah kusesali tentang rawa itu
yang pernah menyimpan kabut mata ibunda
tentang jarak yang menimbun rindu
tentang renta yang tak terelakkan
tentang kau yang mengulur layang
syairkan kemilau langit dalam cahaya laut
di matamu yang penuh kau limpahkan samudra
inong dan agammu menarik sauh disana

saudaraku, pernahkah kita diskusikan tentang
lidah ombak yang tiba-tiba menjulur panjang
dengan desisnya yang gemuruh menggulung
bukit dan gunung
menjilat bersih rawa-rawa menjadi samudra
padahal engkau hampir sampai di puncak ilmu
istri, anak dan saudaramu kau titipkan di rawa itu

ketika nama yang kau tabalkan dengan azan dan iqamah
menari-nari dalam hempasan angin
di salah satu tenda pengungsi
tahulah aku tentang hari-harimu yang dipenuhi awan kelabu
hujan deras menerpa jiwaku
rawa itu nyeri dan bisu

haruskah kusesali tentang rawa itu
padahal cemara-cemara mulai meluruhkan daunnya
padahal qasidah telah mengalahkan ratoh jengkrik
padahal kaki yang berlumpur hanya kadang
saja bila matahari tak bersahabat
salahkah ia kalau ombak mendekat
Kajhu yang cemerlang dalam pasir putih
kini hilang dalam kisaran warna
kitapun terkepung dalam genangan duka

Banda Aceh, 13 Jan 2005


The Marsh is Named Kajhu
For our brother Harun Al Rasyid

My brother, should I regret that marsh
that once held the mist of mother’s eyes
about distance that piles up longing
about old age that’s so unavoidable
about you that stretched out kites
made a verse about the sheen of sky in light of sea
in your eyes so full you poured in the ocean
your girl and boy pulled up anchor there

my brother, did we ever discuss about
the wave’s tongue that suddenly curled out long
with its crashing hiss roiling
hill and mountain
licking clean the marshes into ocean
when in fact you had almost reached the peak of study
your wife, child and siblings you kept in safe keeping at that marsh

when the names that you read out in azan and iqamah
danced in the toss of wind
at one of the refugee camps
I understood about your days filled with gloomy clouds
A heavy rain lashes my soul
The marsh is stinging and dumb

Should I regret that marsh
When in fact the pine trees are starting to shed their leaves
When in fact the qasidah has won out over the song of crickets
When in fact only sometimes are feet muddy
When the sun is being unfriendly
Is it at fault when the wave comes near
Kajhu so sparkling in its white sand
Now disappeared in the turn of colour
And we too are shackled in a mire of sorrow

Banda Aceh, Jan. 13, 2005


DESEMBER, EPISODE DUKA ACEH
I
Kita masih dalam gemulai Geurutee
ketika kau taburkan resah itu di hatiku
kita menggantung diatas palung terdalam, ucapmu
entah sampai kapan tebing ini mampu bertahan
laut makin riuh di bawah sana

II
aku menyimpanmu utuh awal Desember
langkahku menjauh ke pulau Galang,
menyantap ‘gong-gong’ di lipatan ombak,
menyibak perahu dari rimbunan alamanda
camp Sinam dan Hoang Nguyen yang terkepung masalalu
lalu barak-barak berteman belukar meremas nyeri dadaku
“Tessa, rumah dan sekolah yang terbakar di negriku
memadai dengan tenda padahal kami kaya raya”
Getirku pecah mengalir

III
pagi, 26 Desember aku terhuyung-huyung di halaman rumah
mendekap erat buah hatiku dalam gundah menggunung
Ulee Lheu telah hilang ditelan ombak, seseorang memekik
ada mayat di tepi Krueng Aceh, pekik yang lainnya
kota telah karam, kapal-kapal merapat di ‘rajawali’
lari…

IV
jalanan macet, klakson tak henti-hentinya berbunyi
ayo, pergilah
temui mereka, ibu, ayah, istri, suami, anak, adik, kakak dan saudaramu
dimanakah kalian, ayo perlihatkan dirimu
turunlah dari pohon, atap rumah, menara Mesjid, tiang listrik
sibak sampah itu, perlihatkan jemarimu
jangan sembunyi di balik reruntuhan
jangan berendam terlalu lama
air itu merusak paru-parumu
ayo bangkit jangan simpan asamu
dalam gulungan ombak

V
27 Desember 2004
beberapa lelaki mengusung tandu dalam sepi
yang lain mengembara tak tentu arah
membiarkan Lumpur menghitamkan betisnya
anak-anak merapat sambil melilitkan tangannya
dipinggang ibu
bumi belum berhenti bergoyang
di jalan berbatu ranjang rumah sakit
berderit didorong paksa
di atasnya terhampar tubuh kaku
digelembungkan air
mereka berhenti di ladang tebu
menggemburkan tanah dengan sepotong skop tua
tak ada yang menabur bunga

IV
pusat gempa di pantai barat Meulaboh
sia-sia kudamaikan hatiku

Banda Aceh 02/02/ 2005

D Kemalawati
December, Episode of Aceh’s Sorrow

I
We were still in supple Geurutee
when you sowed that restlessness into my heart
we hung on the deepest trough, you said
till who knows when this cliff could hold out
the sea had become wilder down there

II
I had kept you intact in early December
my steps had gone further to Galang Island
feeding on ‘gong gong’ in the folds of the waves
uncovering boats from alamanda brush
The Sinam and Hoang Nguyen camps enfolded in the past
and the barracks too friendly with overgrowth painfully clutched my heart
“Tessa, houses and schools that were burned in my land
were inadequately replaced with tents, yet we were wealthy”
My bitterness exploded and flowed

III
morning, December 26 I’m tossed about in the yard at home
holding tight the little fruit of my love in mounting anxiety
Ulee Lheue has disappeared swallowed by a wave, someone shrieked
there are bodies on the banks of Krueng Aceh, another shrieked
the town has drowned, boats are docked at ‘rajawali’
run…

IV
the roads are jammed, car horns don’t stop their honking
come, let’s go
meet them, mother, father, wife, husband, child, little sibling, older sibling and your kin
where are you, come show yourself
come down from the tree, the roof, the mosque’s tower, the lamp posts
turn down garbage, show your fingers
do not hide behind the rubble
do not wallow down too long
the water will destroy your lungs
come stand up do not keep your hopes
within the rolling of the wave
V
December 27, 2004
some men shoulder a litter in the quiet
others wander with no direction
letting mud blacken their calves
children huddle close while twisting their hands
around their mother’s waists
the earth has not stopped shaking
on the stony road a hospital bed
creaks for being pushed forcibly
upon it spread-eagled a stiff body
bloated with water
they stop at a sugar cane field
dig the earth with a piece of old spade
no-one scatters flower

VI
the quake’s epicentrum is on the west coast of Meulaboh
in vain do I quell my heart

Banda Aceh, February 2, 2005

Catatan :
Penterjemah puisi ke Inggris : Aktifis perempuan Indonesia yang juga jurnalis dan penyair ; Debra H Yatim