Selamat datang di Kawasan Penyair Aceh Terima kasih atas kunjungan Anda

Jumat, 04 Maret 2011

Rahmad Sanjaya


Rahmad Sanjaya: Lahir di Takengon (Aceh Tengah), 18 Juni 1972. Pendidikan terakhirnya menamatkan S1 dan S2 Teknik Sipil, menamatkan S1 Ekonomi jurusan Management dan Sekolah Musik di Jakarta. Darah seni yang mengalir di tubuhnya merupakan warisan dari ayahnya (Musisi) dan ibunya (Penari Melayu), Kiprahnya dalam dunia seni dimulai sejak umur 5 tahun dan saat itu untuk pertama kalinya dia perkenalkan dalam dunia seni lukis di kota kelahirannya.
Di tahun 1983 dia diajarkan bermain guitar oleh ayahnya, tahun 1987 dia mulai membuat puisi, tahun 1990 dia mulai menggeluti dunia teater di teater Mata Banda Aceh, beberapa naskah besar luar negeri sempat di pentaskannya bersama Teater Mata pimpinan Maskirbi dan dia juga sempat menggarap musik teater dalam beberapa naskah baik di Teater Mata, maupun Teater Kosong dan Krya Artistika.
Selama berteater seniman yang kerap di sapa Bang Jay ini aktif menulis puisi dan sepanjang perjalanannya dalam dunia sastra dia sempat di undang ke Malaysia dan dikukuhkan oleh Dewan Kesenian Jakarta menjadi Penyair Abad 21 di tahun 1996. Puisi-puisinya terhimpun dalam Antologi Sosok (1992), Nafas tanah Rencong (1992), Antologi Batu Malang (1993), Antologi Seulawah;Antologi Aceh Sekilas Pintas (1995), Mimbar penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Dalam Beku Waktu (2002), Antologi Putroe Phang (2002), Antologi Tanah Pilih (2008) dan Ensiklopedi Aceh (2008), serta Ensiklopedi penyair, penari pelukis dan teater Aceh (2009). Sedangkan puisi dalam bentuk Musikalisasi Puisi terdapat dalam album: Himne Bagimu Ibu, Luka, Khibast2000, Kehidupan I dan 2 (1999-2000). Ditahun 2009 dia membuat Album musikalisasi puisi bertajuk “Jaya” (Komunitas Musik Merdeka) yang di rekam dalam CD Audio.
Pendiri Bengkel Musik Batas (1991), Khibast2000 (1997), Komunitas Musik Merdeka (1998) Asosiasi Seniman Aceh Indonesia – ASAI (1998) dan Komunitas Rumah Sawah (2006) ini telah mengaransmen 1123 buah puisi ke dalam bentuk komposisi Musikalisasi Puisi sejak tahun 1990 s/d 2009. dan dengan itu pula dia kerap menjadi fasilitator di berbagai pelatihan Musikalisasi Puisi (1993-2009) dan menjadi juri di berbagai lomba baca Puisi dan Festival Musikalisasi Puisi (1992-2009).
Dalam organisasi kesenian Direktur Komunitas Rumah Sawah (KRS) ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengawas Dewan Kesenian-DKA (2000-2005), Wakil Ketua II Bidang Program DKA (2006-2007), Ketua Umum Komunitas Musik Merdeka Indonesia (2001- sampai sekarang), Ketua Umum Konsosium Musikalisasi Puisi Indonesia KMPI (2008 sampai sekarang), dia juga tercatat sebagai Wartawan Koran AcehKita (2005-2008), Tabloid Investigasi (2008), Tabloid Reporter (2008), Tabloid Sipil (2008- 2009), redaktur tamu di berbagai media di Bogor dan Jakarta. Sebagai seniman yang terus aktif nama Rahmad Sanjaya tercatat dalam Buku Pintar sastra Indonesia (2001).

Nun

Ruang yang terpisah itu adalah raga kita
Kerinduan akan kasih melambung
Bagai gelombang tak tampak
Lalu menjelma lautan cinta
Yang bermuara dari kerinduan

Senggamaku dengan kegelisahan
Adalah jendela menuju ketenteraman
Ketika engkau bagai bayangan
Menjelma rembulan
Yang kupandangi
Nun diatas sana

Dan dari segala ruang
Hanya raga kita yang terpisah
Dan dari segala mimpi juga angan-angan
Engkau menjawab sejuta nestapa
Dengan guyuran kerinduan
Yang tak terperikan

Aku mencarimu ibu
Dalam doa yang terbentang
Sepanjang sajadah langit

Jakarta Desember 2004


Percakapan Pagi

Akhirnya bertemu lagi dengan pagi
Aku kembali berembuk dengan hati dan fikirku
Karena pagi kemarin kami tak sepakat dalam kata
Hingga dia pergi meninggalkanku

Hari ini dia datang lagi dengan sekeranjang sarapan
Dia duduk mengambil singgasananya seperti kemarin
Senyumnya merekah laksana mawar di kebun bunga
Lama kami bercerita dan saling tukar tanya dan jawab
Terkadang ada pertengkaran kecil menyelinap

Seteguk kopi ku sambi diantara percakapan kami
Tiba-tiba entah dari mana mulanya dia membentakku
“kau terlalu lama bermain dengan malam,
Bintang-bintang terlalu berat mempengaruhimu
Dan kau terlalu bernuansa dengan bulan
Seperti pungguk yang terus birahi terhadap kelegaman kelam.”

“Hei, kenapa menyeru, kataku,
Bukankah kau datang dengan senyum bunga,
Jangan coba memendarku dalam jeratanmu yang kelu
Karena aku tak ingin hidupku skeptis dan penuh ragu”

Dia tak memandangku lagi
Entah tersinggung atau putus asa
Wajahnya di sembunyikannya di balik pucuk-pucuk daun
Yang mulai di tiup angin
Aku mengeluh. Otakku kembali beretorika
Ada hujatan kecil yang memekik di hati
Dan kopi kembali kuteguk.

“Hei, apakah kau masih belum beranjak dari mimpi
Sirnakan khayalmu, cepatlah arungi samudera !

Siapa yang berseru !

Punge Blangcut-Banda Aceh, Juni 2007


Bayangkan Kita Jadi Tua

Bayangkan kita jadi tua
Seluruh kulit kita keriput dan pucat
Mata rabun tak berbinar
Rambut beruban, rontok helai demi helai
Gigi tanggal satu persatu
Di meja, makanan yang tersaji bukan lagi milik kita

Bayangkan kita jadi tua
Kita mulai sendiri dalam rumah yang sepi
Di tv sinetron remaja menjejali otak tua kita
Kisah cinta dan kasmaran yang tak sempat kita pikirkan semasa muda
Menabjubkan atau mungkin saja kita akan muntah
Menyaksikan adegan-demi adegan yang di suguhkan sutradara

Bayangkan kita jadi tua
Orang-orang tak lagi berkunjung ke rumah
Orang-orang tak lagi punya kepentingan
Jabatan dan kuasa yang kita pegang dulu
Tenggelam bersama waktu
seiring keriput yang mulai menebal di kulit kita

Bayangkan kita jadi tua
Ketuaan yang mengelisahkan keluarga
Kata-kata yang manis tak lagi ada terdengar
Anak-anak kita tak lagi menjadi kebanggaan
Sahutan mereka kadang seperti sembilu
Yang berpendar menuai kepedihan hati
Namun kita cuma mengelus dada

Wahai, Bayangkan kita jadi tua
Diantara tubuh yang renta tak berguna
Penyakit yang akut
Dan seonggok penantian datangnya mati

Bayangkan kita jadi tua
Disaat masih menggenggam dunia.

Banda Aceh November 2007


Antara Kudrat dan Iradah

Benarkah waktu menafikan nafiri kehidupan lewat senggama dunia dengan mahluk
Ketika manusia melupakan asal, wujud semesta dan keabadian ruh
Dalam mawujud Nur Muhammad telah mengisyaratkan
Lentera kekekalan diantara kudrat dan iradahNya
Lalu bergerak mencapai taman surga dengan segala keindahanya
Disaat waktu tak lagi bermimpi mendapat matahari dan rembulan
Aku hadir diantara kudrah dan iradanNya sebagai lautan ma’rifat
Yang tak pernah berhenti dan mati.

Depok , Mei 2008


Republik Siapa

Membaca sejarahmu Indonesia
Adalah gemahripah loh jinawi kata jong java
Menukilmu Indonesia adalah patriotis anak bangsa yang siap mati demi sangsaka
Merenungmu Indonesia adalah fatwa-fatwa sejarah
Yang kian remuk di atas kepentingan demi kepentingan

Ini republik siapa
Ungkapan maju terus pantang mundur
Atau pekik merdeka yang dapat membangkitkan
rasa cinta pada negeri
Kian terpojok pada dataran sunyi diantara siang dan malam
Mungkin engkau terlalu mengada-ada tuan
Lihatlah wajah separuh dari jagat nafas anak negeri
Yang mengaga dalam perut lapar dan kesengsaraan
Lihatlah separuh dari kekuasaanmu
Yang diburu KPK dan dihujat di jalan-jalan protokol
Lihatlah separuh dari kebijakanmu
Yang menerbitkan malapetaka yang tak pernah sirna dari berbagai pelosok nusantara

Ini republik siapa
Berondong bencana, duka lara silih berganti
Engkau tetap mengaku Indonesia tanah airmu tanah tumpah darahmu
Namun disana kau berdiri menggorok leher putra-putri kami
Menyiksa ayah dan ibu kami
Menaikan harga sekehendak hati
Sambil berkilah ini demi stabilitas negeri
Bukan reputasi pribadi ujarmu dalam sebuah mimbar di televisi

Ini republik siapa
Aku mengerutkan kening dan menatapmu tajam disaat
Jaksa dan hakim berotak culas mempermalukan hukum
Ketika wakil rakyat hanya membela diri sendiri dan partainya
Disaat Kpk ciut terhadap orang-orang berbedil
Hingga pemerintahan busuk di tiap provinsi dan kabupaten
Mengkhianati rakyat dalam selubung satpol PP
Bakar, injak, paksa, gusur dan habisi bila perlu
Sementra dipinggir jalan
Polisi tak lagi mengatur lalin sebab takut kehilangan ladang jajan
Yang lebih memilukan maling jemuran langsung dihukum dor tanpa perbal
tapi tikus-tikus pencuri bebas berkeliaran sengaja di biarkan
Dan semakin kompaklah mereka ketika kepala negaranya sangat hobi menaikan BBM
Lengkaplah penderitaan ketika kesalahan menjadi benar dalam hukum-hukum republik

Tuhan
Pantaslah Engkau beri bencana di tanah ini
Tak habis-habis, tak putus-putus
Kesengsaraan menggeliat bagai bayi mungil yang mengompol di malam buta
Tak habis-habis dan tak mau sirna.

Jakarta Mei 2008


Ngungun Republikan

Ketika maklumat tak lagi mikat
Ketidakadilan bagai cemilan
Berlaksa bahasa telah berbusa
Negara menjadi republik angkara

Menembus langit dengan pisau gulita
Buta mata buta telinga
Cuma ngungun menjadi pelita
Diantara parau dan kebodohan

Berlayar yang jauh wahai anak laut
Diantara camar berputar-putar
Karena Lagu persatuan tak lagi bertuan
Yang ada hanya pelikan muntahkan sesalan

Norma dan amarah meluap bagai bah
Bergejolak selaksa odipus complek
Entah dimana kabut menebal
Republik ini semakin tak nyata

Dan kita adalah orang-orang yang terperangkap
Dalam lubang-lubang gemerlap politik instan
Yang mengusung pemimpin laknat beritikad khianat
Sampai suatu saat kiamat menyergap
Republik ini pun tamat

(Aku masih ngungun melihat bangsaku terjajah)

Banda Aceh Juli 2008


Sembilu Dua Zaman
Kepada WS . Rendra

Kadang dalam terang
aku masih mencarimu di kegelapan
Tuhan, Merah saja wajahnya.

Banda Aceh, Agustus 2008


Dimatamu Kulihat Dunia

Bukankah semerbak bunga telah cukup untukmu terbuai
Ketika kumbang jantan penuh nafsu
Menyuratimu dengan kertas wangi mengajak bercumbu
Diantara hempasan zaman yang tak terbaca
Dan dimatamu kau terus menghunus sembilu.

Punge, November 2008


Ada Cinta di Layar Facebook

Kalau Din Saja ingin menjadi penjual ganja
karena puisi sudah tak lagi miliki apa-apa
Maka aku memilih cinta di layar face book
Ada jamaah di sini
Jamaah yang menebarkan rasa kesetiaan dalam pertemanan

Kalau Din Saja meminta honor saat usai baca puisi di Putroe Phang
Maka aku memilih diam setelah pentas di Farhan Hamid
Sebab ada tidaknya honor itu tergantung kejujuran seseorang
Yang mendapat peluang pentas seni dan kewajiban untuk berbagi
Hanya sekedar satu rupiah

Kalau Din Saja memilih Kroeng Aceh Sebagai tempat festival
Maka aku memilih Kroeng Aceh sebagai tepat berlayarnya
puisi-puisi dari penjuru dunia
Bukan wacana dan bukan argumen yang dimanis-maniskan dengan gula sakarit
Dan tentunya kita tidak terus berperang dengan mimpi

Kalau Din Saja mengajak berziarah pikiran
Maka aku lebih memilih menulis puisi
Sebab puisi adalah keindahan semesta
Anugerah yang maha kaya
Yang terus ku ukir dengan irama

Kalau Din Saja bla..bla ..bla
Aku lebih memilih tak ikut serta
Sebab banyak mimpi sudah tergadai dan tak balik modal

Banda Aceh, Agustus 2009


Nak Inilah Nasehat

Katakan darimana kau mulai bangkit
Dan kebangkitanmu adalah kunci
Hidup bahagia di masa datang

Takarlah setiap langkah
Fikirlah sebelum bicara
Bacalah tanda-tanda zaman
Ariflah dalam fikir
Bijaklah dalam bertindak
Dunia akan jadi milikmu
Bila hidup mulai sulit
Maka berpeganglah pada tekat
Sebab kemalasan adalah rintangan
Yang mampu merobek-robek segalanya
Berjuang dan gigihlah bekerja
Niscaya kesulitan akan berubah jadi kemilau
Kemegahan akan hati dan raga

Maka jadilah anak semesta
Yang patuh pada orang tua
Berguna bagi bangsa dan menjadi imam dalam agama
Dan jangan ragu untuk sesuatu yang baru
tukarkan karyamu dengan dunia
Hingga duani ada diggenggaman

Nak inilah nasehat
Jimat keramat yang menuntunmu
Menjadi bermartabat

Banda Aceh , Agustus 2009

3 komentar:

ELMI lestari mengatakan...

Good job Bang Jay .... love youuu

ALBARUS mengatakan...

Peminat sastra harus banyak tau tentang segala hal n bidang, terima kasih ilmunya..

Souvanna26 mengatakan...

Puisi Sangat bagus banget Dan terinspirasi banget