SULAIMAN TRIPA, lahir di Panteraja (Aceh), 2 April 1976. Esainya, Hukom Suloh (2001), menjadi salah satu esai terbaik untuk perdamaian Aceh. Sepanjang 2002-2003, duduk dalam Komite Sastra Dewan Kesenian Banda Aceh. Buku puisinya, Pesta (2007), dan beberapa buku puisi bersama, seperti Putroe Phang (2002), Mahaduka Aceh (2005), Lagu Kelu (2005), Syair Tsunami (2006), Poet Tsunami (2005), Kutaradja (2009), Krueng Aceh (2009). Bersama D Kemalawati mengeditori buku puisi Ziarah Ombak (2005). Tahun 2006 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membaca karya tentang bencana. Tahun 2005 mengikuti Program Penulisan Mastera. Bersama beberapa teman, mendirikan Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh.
KEMBALILAH KAWAN!
untuk khaidir
kerinduanmu masih membayang
kau pinta pamit dengan sangat
untuk pulang,
karena tubuhmu ditunggu para tersayang
kau kembali, saat semua yang kau cerita sudah terjadi
beratus waktu kutunggu
tapi kau tak sempat memberi kabar barang sebentar
berpuluh orang kuhubungi
tapi yang tersisa selalu kurasa tak pasti
seperti kukejar angin
berdirilah di depan rumah
aku ingin menjengukmu dari jauh
sambil merasa aroma asap yang menyembul
SAMPAI
ada pesta di beranda yang tak beratap
di tepi banda yang penuh bercak
sambil melupakan ombak yang tak sedap
semilirnya pernah mengirim bau tak enak
hajatan ini juga tak terlarang, walau terang membawa hijab
makin mulia penarik berat, walau dengan bersiul sampai bersorak
ingat waktu ingat akhir, ingatlah pada titik yang nadir
tunggulah wajah akan terlihat, tak ada yang peduli walau meratap
BERJALAN DI ATAS AWAN
orang-orang tak sepi mendengar obrolan indah
kata-kata yang berbunga menusuk kampung
dan telinga
lalu terpana dengan alun syahdunya
yang membuat mimpi-mimpi bangkit ke cakrawala
ada banyak mimpi yang juga indah
tentang bunga dan burung merpati
dalam kepungan sesak yang dilingkari asap
lalu,
sepi-sepi tak juga mati
wahai bumi,
ada obrolan indah suci dari kampung ini
yang membuai kami
agar tak seharusnya mati
pandanglah,
tangan para pemberi kata yang berirama
sedang di kakinya
sepatu mengkilap yang sedang dihinggapi banyak lalat
di sekeliling tanah ini
dalam keindahan mimpi-mimpi
ada kaki yang menjerit
karena tertindih,
karena terjepit
zaman ini adalah zaman yang bersemi
oleh obrolan orang berilmu yang menjulang tinggi
oleh buaian orang berkuasa yang meyakinkan mimpi
padahal,
itu cuma mimpi
tak ada teduh untuk mengayuh
tak ada laut untuk berlabuh
tak ada sayap hingga terjatuh
orang-orang sedang melihat
taburan mimpi di saat siang
tentang ajakan indah
berjalan di atas awan.
PANTERAJA MENANTI SENJA
Tak banyak senyum karena ada yang pergi
barisan sunyi sedang menanti
tak ada tuntun untuk meniti
seperti mendung langit menjadi
cakrawala berkisah seputar hampa
saat panteraja menanti senja
dari langit kampung yang remang cahaya
karena bulan tak kunjung purnama
angin malam berwajah bisu
tak ada kipas yang bertalu-talu
tak ada burung yang tekun berlagu
melewati saja berlalu waktu
ketika fajar berganti pagi
tak juga muncul wajah berseri
ini persis seperti mati
tapi orang-orang seperti tak peduli.
KISAH TANGIS UNTUK NEGERI
negeri ini hampirlah karam
sudah gelombang datang membenam
tak elok lagi siang dan malam
perilaku orang berlanggam-langgam
ada orang orang berbagai macam
datang ke sini setelah tanggal dua enam
ada pesta beraneka ragam
menarik rezeki dari orang yang demam
siapa yang datang membawa asam
untuk membentuk wajah yang muram
khanduri ini dunia lalu kelam
maka janganlah liar selimuti gumam
hai saudara bawa apa kemari
untuk siapa pula itu rezeki
terkaitkah itu dengan tsunami
karena ada aroma mewah dalam rekonstruksi
ini kisah untuk tampuk negeri
dari permainan orang yang memancik api
tidak jelas orang yang memulai
entah dari seberang laut entah dari negeri sendiri
muncul pula pahlawan dalam rehabilitasi
padahal makan duit kelandit diisi
para berbayang-bayang putih suci
padahal juga dekat dengan pencuri
tengadah tangan ini untuk Tuhanku
mohon petunjuk untuk orang yang kelu
sadarkan mereka untuk beroda biar tak bisu
lembutkan hatinya biar tak membatu
terlalu lama orang menunggu
memakan angin yang sering berlalu
di dalam gedung ada yang semu
membangun koloni di negeri endatu
wahai tuan-tuin pekerja rindu
korban tsunami pastilah pilu
berjilid-jilid rencana tersusun di buku
mengapa masih sesak berlaku
pahit dirasa kian membara
orang yang kena pasti merasa
janganlah biar mereka menderita
nanti datang bencana kedua
bukan alam yang akan bermurka
tapi manusia yang saling durja
oleh perilaku yang membawa celaka
oleh sikap yang mengejar harta
apa zaman sudah begini masa
akhirat lupa karena kejar dunia
tidak pula ingat nilau budaya
apalagi sampai ingat agama
inilah kisah tangis untuk di barat
untuk kebutuhan manusia berlambat-lambat
semua bilang ada hak daulat
hingga manusia jalan harkat
orang-orang sudah bersekat-sekat
orang yang jauh orang yang dekat
alasan mudah adalah martabat
cara yang laku bersikat-sikat
inilah dunia sudahlah terpahat
dalam godaan yang berlipat-lipat
tak di timur tak di barat
entah kapankah kembali martabat
semisal dunia yang sarat muatan
hidup di dunia sarat godaan
orang-orang ada dua pilihan
antara buruk atau beriman
tapi buruk seterang bulan
perilaku buruk sampai pula di jalan
tak peduli motor atau pun sedan
laku manusia memiris keadaban
di waktu magrib orang di jalan
membawa anak beli jajanan
ada uang hasil rampokan
untuk anak isteri memberi makan
satu kerja dua belas upah
bilang tak turut dengan sumpah
misai tebal untuk hidup mewah
di kedai kopi canda dilimpah
mobil baru di rumah singgah
garasi berbunga dengan cat indah
tak peduli tetangga yang patah-patah
yang penting silat pakailah lidah
bila bekerja ada yang salah
juru bicara yang sanggah-sanggah
tak ada soal hati yang gundah
tak ada soal tubuh gelisah
hai saudara bawa apa kemari
untuk siapa pula itu rezeki
terkaitkah itu dengan tsunami
karena ada tangan yang bawa lari
ini kisah tangis untuk pelayan negeri
jangan jadikan busuk di dalam negeri
cukuplah sudah korban disakiti
ingatlah doa nanti Tuhan beri
ini kisah tangis untuk pekerja
yang berpeluh keringat setelah bala
ambillah hak yang sewajarnya
jangan sampai berlipat lima
ini kisah tangis untuk para saudara
sebagai kabar dari yang berduka
ternyata bencana tak cuma bala
ada riang berlomba-lomba
ini kisah tangis untuk orang pandai
jangan cuma ngomong soal selesai
sampailah ke hati harus sesuai
agar elok pula piagam terbingkai
ini kisah tangis untuh pahlawan
berhentilah sikap untuk menawan
ini bukan negeri di awan
ini bukan negeri di awan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar