D Kemalawati, lahir di Meulaboh, Aceh Barat. Salah seorang pendiri lembaga kebudayaan Lapena yang bergerak dalam pendokumentasian karya sastra di Aceh. Menulis puisi, cerpen, novel,esei, opini. Puisi-puisinya terhimpun dalam banyak antologi bersama Indonesia, nusantara diantaranya dalam
Antologi De Poeticas, kumpulan puisi Indonesia, Portugal, Malaysia, (Gramedia, 2008)
Antologi puisi tunggalnya terbit dalam dua bahasa Indonesia Inggris berjudul Surat dari Negeri Tak Bertuan (Lapena, 2006). Novel perdananya berjudul Seulusoh terbit pada 2007 oleh penerbit yang sama. D Kemalawati selain bergiat di penulisan kreatif juga seorang penari dan pemain teater. Berperan sebagai Laksamana Keumalahayati dalam pementasan teater Tanah Perempuan karya Helvi Tiana Rosa bersama Bengkel Sastra UNJ akhir tahun 2009 di Gedung Kesenian Jakarta dan di Auditorium RRI Banda Aceh. Terakhir bersama penyair Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja menerbitkan karya puisinya dalam kumpulan puisi 3 Di Hati yang juga diterbitkan Lapena Banda Aceh (Desember, 2010). D Kemalawati penerima Anugerah Sastra dari Pemerintah Aceh 2007.
Puisi-puisi tsunami D Kemalawati (versi Indonesia-Inggris)
SAJAK UNTUK PELUKIS OMBAKKU(Untuk : Virse Venni)
apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja
apakah pagi itu engkau masih membedaki
punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan sikecilmu
sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu
apakah arti sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara mana jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
di antara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit di antara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki di pinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan
kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai langkah kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan lukisan-lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu
aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku, tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada-Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu
Banda Aceh, 9-10 Januari 2005
Poem for the Painter of My Wave(for Virse Venni)
what significance is this my poem
when the wave you painted on the blue canvas
no longer provides peace in my heart
its foam no longer white to caress the shore
it has turned angry
it’s long body touching sky
eating up all there is
that morning did you still powder
your husband’s back
tired for having lain all day
bathe your little one
while playing with his cute brow
or comb the curly hair of your pretty little girl
what significance is this my poem
when I cannot guess
in what jungle your body now is
is it you still lying
in between the blackened bodies, stiff and lonely
impaled between the rubble of ruins
is it you covered in black bags
piled on the road sides
with no holy rites and kafan cloth
is it you only brought in by volunteers
to the long holed cemetery
for me to find no gravestone
to whom else should I offer this poem
to become a talent in the dance of colours
to give meaning to the steps of these bare feet
I am tired of roaming these empty lanes
seeking out traces of your house
finding the paintings on its wall
or picking up the small brush
of when you painted that wave
now I can only stare at my wave
in your painting
in the release of my zikir, my tahlil, my tahmid
I ask of You, Allah
make pure the bodies of my kin
who returned home in the rumble of Your wave
Banda Aceh, 9-10 Jan. 2005
KITA TAK BELAJAR MEMBACA TANDA-TANDAketika kita terhuyung-huyung dalam goncangan panjang
ketika kita bersidekap rapat dengan bumi
ketika kita tak pernah tahu tanah rengkah
air laut surut berdepa-depa
ketika ia menjulurkan lidahnya ke angkasa
ikan-ikan menggelepar, pasir-pasir mengering
rumput laut tak sembunyi di balik karang
lalu sebagian dari kita berhamburan ke tengah pasir
silau oleh gemerlap sisik ikan
bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya
seakan bara siap mengharumkannya
perut sejengkal sudah sehasta
berbongkah-bongkah daging merah
gerah menari di lidahnya
masya Allah, ketika dari kejauhan dia datang menerkam
Tak ada sayap menerbangkan tubuh kita
Dalam hitungan detik Malaikat Izrail kembali
Menyampaikan laporannya
Menyempurnakannya hitungannya
Kita tak belajar membaca tanda-tanda
Sebagian kita melihat dengan batinnya
Masjid-masjid yang sendiri di bibir pantai
Adalah perahu Nuh yang disesaki kaumnya
Lalu ia bertanya mengapa berlari dari masjid
Banda Aceh, 10 Januari 2005
We Have Not Learned to Read the Signswhen we were tossed about in the long trembling
when we held on tight to the earth
when we never knew that hot land
makes water ebb in acres
when it curled out its tongue to the sky
fish flapped around, the sands dried up
seaweed no longer hid behind rocks
then some of us rushed to the sands expanse
blinded by the flash of fish scales
like fireflies drunken with light
as if coals were at the ready to make them fragrant
the bit of stomach now an acre
bricks of red meat
clammy to dance on the tongue
Masya Allah, when from afar it came to devour
there were no wings to make our bodies fly
in a matter of seconds Archangel Izrail returned
conveyed his report
perfected his calculation
we have not learned to read the signs
some of us saw with our souls
the mosques standing alone on the lips of shores
were the ark of Noah’s crammed with his people
and then he asked, why run from the mosque
Banda Aceh, January 10, 2005
DAHAGA LAUTKami anak nelayan
Debur ombak adalah zikir kami
Pasir putih adalah sajadah kami
Air laut adalah perut kami
Dahaga kami
Lapar kami
Kenapa ombak tiba-tiba menjulang
Mengukir gunung dalam sekejap
Lalu pecah terdorong dahsyat
Menerjang gubuk-gubuk reot kami
Menggulung ibu yang sedang menjemur kain di halaman
Menggamit tubuh kecil kami yang sedang membantu ayah
Memungut ikan-ikan yang terdampar itu
Terbayang ayah tak perlu melaut esok hari
Tak perlu membiarkan kami terjaga diwaktu subuh
Membaui aroma laut di tubuhnya
Ikan-ikan yang terdampar itu
akan kami tukarkan dengan jala baru
menggantikan jala usangnya yang berlubang
Hanya sekali itu
Hanya sekali itu saja ombak menjulang
menggulung tubuh kami dalam larva kelam
lihatlah leher ibu yang berdarah
atap rumah yang terseret arus melukainya
lalu lumpur hitam yang pekat menutup rapat tubuhnya
Masya Allah, bayi itu lepas dari pelukan ibunya
Terlempar ribuan meter
Tangisnya hilang bersama detak jantungnya
Ya Allah, terlalu cepat ia berlalu tanpa sempat menyentuh tangannya
Yang menggapai-gapai itu, pandangan yang redup hilang dalam sekejap
wahai, Di manakah dermagamu
Ombak itu terus berlari bagai bala tentara yang maha ganas
Mengejar kami yang berlarian tak tentu arah
Membungkam jerit anak-anak yang ketakutan
Zikir yang tertahan, azan yang terpenggal
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun
Beribu-ribu kami yang tak berdaya terkapar
Karam bagai kapal kertas
Jiwa kami melayang
bagai kapas dihempas badai
Ya, hanya sekali itu
Dalam hitungan menit ombak itu kembali pulang
laut tenang
tinggallah nyeri yang berenang-renang di darat ini
di hati jutaan kami
Kami anak nelayan, hari-hari menghitung ombak
Melukis purnama dalam pasang yang purba
Mengintip penyu menitipkan telurnya
Membangun rumah-rumah pasir sambil
membayangkan ayah ibu menghabiskan senjanya di sana
kini kami menyepi di tenda-tenda
sunyi dari deburan ombak
kami anak nelayan
debur ombak adalah zikir kami
pasir putih adalah sajadah kami
air laut adalah perut kami
lapar kami
dahaga kami
o lihatlah perahu-perahu itu menuju
jejak kampung kami yang senyap tanpa canda
pesisir yang wangi oleh cemara
desah nafas kami terkurung di sini
biarkan kami mendekat
memungut kayu-kayu yang berserakan
untuk tiang gubuk kami yang baru.
Banda Aceh, 18 Februari 2005
The Sea’s ThirstWe are the children of fisher folk
The crash of waves are our zikir
White sand are our prayer mats
The seas are our stomachs
Our thirst
Our hunger
Why did the waves suddenly curl high
Becoming a mountain for an instant
And then break up in a mighty surge
Smashing our wretched huts
Rolling our mothers drying out clothes in the yard
Devouring our small bodies who were helping father
To pick up those stranded fish
Imagining father not having to go out to sea tomorrow
Not having to leave us awake at dawn
Sniffing the sea’s aroma on his body
Those stranded fish
we were to exchange for new nets
to replace his old ones full of holes
Just that once
Just that once did the waves curl high
rolling our bodies in dark larva
look at mother’s bloody neck
a roof dragged by the current hurt her
then thick black mud covered tight her body
Masya Allah, that baby fell from its mother’s embrace
Tossed thousands of meters away
Its cry lost together with its heartbeat
O God, too fast did it go by with no time to touch its hand
That reached out, its forlorn gaze lost in an instant
Oh You, where is Your dock
The wave went on running like a troop of vicious soldiers
Chasing after us who ran with no direction
Silencing the shrieks of frightened children
Stopped up zikir, chopped up azan
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun
The thousands of us powerless and listless
Stranded like paper boats
Our souls had flown
like cotton wool tossed in a storm
Yes, just that once
In a matter of minutes the wave went home
the sea turned calm
all’s left is pain swimming in this land
in the hearts of our millions
We are children of fisher folk, our days we count the waves
We paint the full moon in its ancient high tides
Peek at turtles putting its eggs to keep
Build sand houses while
imagining father and mother riding out their dusk there
now we ponder in our tents
silent from the crash of waves
We are the children of fisher folk
The crash of waves are our zikir
White sand are our prayer mats
The seas are our stomachs
Our thirst
Our hunger
O, look at the boats heading towards
The traces of our village so devoid of laughter
The shore is fragrant with pine
The sighs of us imprisoned here
Let us come near
To pick up scattered sticks
To use as posts for our new huts
Banda Aceh, February 18, 2005
RAWA ITU BERNAMA KAJHUUntuk Saudara kami Harun Al Rasyid
Saudaraku haruskah kusesali tentang rawa itu
yang pernah menyimpan kabut mata ibunda
tentang jarak yang menimbun rindu
tentang renta yang tak terelakkan
tentang kau yang mengulur layang
syairkan kemilau langit dalam cahaya laut
di matamu yang penuh kau limpahkan samudra
inong dan agammu menarik sauh disana
saudaraku, pernahkah kita diskusikan tentang
lidah ombak yang tiba-tiba menjulur panjang
dengan desisnya yang gemuruh menggulung
bukit dan gunung
menjilat bersih rawa-rawa menjadi samudra
padahal engkau hampir sampai di puncak ilmu
istri, anak dan saudaramu kau titipkan di rawa itu
ketika nama yang kau tabalkan dengan azan dan iqamah
menari-nari dalam hempasan angin
di salah satu tenda pengungsi
tahulah aku tentang hari-harimu yang dipenuhi awan kelabu
hujan deras menerpa jiwaku
rawa itu nyeri dan bisu
haruskah kusesali tentang rawa itu
padahal cemara-cemara mulai meluruhkan daunnya
padahal qasidah telah mengalahkan ratoh jengkrik
padahal kaki yang berlumpur hanya kadang
saja bila matahari tak bersahabat
salahkah ia kalau ombak mendekat
Kajhu yang cemerlang dalam pasir putih
kini hilang dalam kisaran warna
kitapun terkepung dalam genangan duka
Banda Aceh, 13 Jan 2005
The Marsh is Named KajhuFor our brother Harun Al Rasyid
My brother, should I regret that marsh
that once held the mist of mother’s eyes
about distance that piles up longing
about old age that’s so unavoidable
about you that stretched out kites
made a verse about the sheen of sky in light of sea
in your eyes so full you poured in the ocean
your girl and boy pulled up anchor there
my brother, did we ever discuss about
the wave’s tongue that suddenly curled out long
with its crashing hiss roiling
hill and mountain
licking clean the marshes into ocean
when in fact you had almost reached the peak of study
your wife, child and siblings you kept in safe keeping at that marsh
when the names that you read out in azan and iqamah
danced in the toss of wind
at one of the refugee camps
I understood about your days filled with gloomy clouds
A heavy rain lashes my soul
The marsh is stinging and dumb
Should I regret that marsh
When in fact the pine trees are starting to shed their leaves
When in fact the qasidah has won out over the song of crickets
When in fact only sometimes are feet muddy
When the sun is being unfriendly
Is it at fault when the wave comes near
Kajhu so sparkling in its white sand
Now disappeared in the turn of colour
And we too are shackled in a mire of sorrow
Banda Aceh, Jan. 13, 2005
DESEMBER, EPISODE DUKA ACEHI
Kita masih dalam gemulai Geurutee
ketika kau taburkan resah itu di hatiku
kita menggantung diatas palung terdalam, ucapmu
entah sampai kapan tebing ini mampu bertahan
laut makin riuh di bawah sana
II
aku menyimpanmu utuh awal Desember
langkahku menjauh ke pulau Galang,
menyantap ‘gong-gong’ di lipatan ombak,
menyibak perahu dari rimbunan alamanda
camp Sinam dan Hoang Nguyen yang terkepung masalalu
lalu barak-barak berteman belukar meremas nyeri dadaku
“Tessa, rumah dan sekolah yang terbakar di negriku
memadai dengan tenda padahal kami kaya raya”
Getirku pecah mengalir
III
pagi, 26 Desember aku terhuyung-huyung di halaman rumah
mendekap erat buah hatiku dalam gundah menggunung
Ulee Lheu telah hilang ditelan ombak, seseorang memekik
ada mayat di tepi Krueng Aceh, pekik yang lainnya
kota telah karam, kapal-kapal merapat di ‘rajawali’
lari…
IV
jalanan macet, klakson tak henti-hentinya berbunyi
ayo, pergilah
temui mereka, ibu, ayah, istri, suami, anak, adik, kakak dan saudaramu
dimanakah kalian, ayo perlihatkan dirimu
turunlah dari pohon, atap rumah, menara Mesjid, tiang listrik
sibak sampah itu, perlihatkan jemarimu
jangan sembunyi di balik reruntuhan
jangan berendam terlalu lama
air itu merusak paru-parumu
ayo bangkit jangan simpan asamu
dalam gulungan ombak
V
27 Desember 2004
beberapa lelaki mengusung tandu dalam sepi
yang lain mengembara tak tentu arah
membiarkan Lumpur menghitamkan betisnya
anak-anak merapat sambil melilitkan tangannya
dipinggang ibu
bumi belum berhenti bergoyang
di jalan berbatu ranjang rumah sakit
berderit didorong paksa
di atasnya terhampar tubuh kaku
digelembungkan air
mereka berhenti di ladang tebu
menggemburkan tanah dengan sepotong skop tua
tak ada yang menabur bunga
IV
pusat gempa di pantai barat Meulaboh
sia-sia kudamaikan hatiku
Banda Aceh 02/02/ 2005
D Kemalawati
December, Episode of Aceh’s Sorrow
I
We were still in supple Geurutee
when you sowed that restlessness into my heart
we hung on the deepest trough, you said
till who knows when this cliff could hold out
the sea had become wilder down there
II
I had kept you intact in early December
my steps had gone further to Galang Island
feeding on ‘gong gong’ in the folds of the waves
uncovering boats from alamanda brush
The Sinam and Hoang Nguyen camps enfolded in the past
and the barracks too friendly with overgrowth painfully clutched my heart
“Tessa, houses and schools that were burned in my land
were inadequately replaced with tents, yet we were wealthy”
My bitterness exploded and flowed
III
morning, December 26 I’m tossed about in the yard at home
holding tight the little fruit of my love in mounting anxiety
Ulee Lheue has disappeared swallowed by a wave, someone shrieked
there are bodies on the banks of Krueng Aceh, another shrieked
the town has drowned, boats are docked at ‘rajawali’
run…
IV
the roads are jammed, car horns don’t stop their honking
come, let’s go
meet them, mother, father, wife, husband, child, little sibling, older sibling and your kin
where are you, come show yourself
come down from the tree, the roof, the mosque’s tower, the lamp posts
turn down garbage, show your fingers
do not hide behind the rubble
do not wallow down too long
the water will destroy your lungs
come stand up do not keep your hopes
within the rolling of the wave
V
December 27, 2004
some men shoulder a litter in the quiet
others wander with no direction
letting mud blacken their calves
children huddle close while twisting their hands
around their mother’s waists
the earth has not stopped shaking
on the stony road a hospital bed
creaks for being pushed forcibly
upon it spread-eagled a stiff body
bloated with water
they stop at a sugar cane field
dig the earth with a piece of old spade
no-one scatters flower
VI
the quake’s epicentrum is on the west coast of Meulaboh
in vain do I quell my heart
Banda Aceh, February 2, 2005
Catatan :
Penterjemah puisi ke Inggris : Aktifis perempuan Indonesia yang juga jurnalis dan penyair ; Debra H Yatim